TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori mengatakan, rekomendasi yang dikeluarkan Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) terhadap kebijakan pertanian Indonesia perlu dicermati secara hati-hati oleh pemerintah.
Dia menganggap, rekomendasi OECD kepada pemerintah untuk meninggalkan swasembada pangan dinilai sebagai langkah membuat liberalisasi masyarakat Indonesia. “Pemerintah harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar liberal komoditas pangan,” kata Khudori melalui sambungan telepon, Rabu, 10 Oktober 2012.
Pemerintah juga diminta mengendalikan proses liberalisasi pasar pangan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015. Ajakan untuk membuka pasar pangan lebih luas perlu diwaspadai.
Khudori menambahkan pemerintah harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar liberal komoditas pangan, di antaranya dengan menyiapkan hambatan non tarif seperti standar nasional Indonesia. Pembatasan pintu masuk impor, lanjutnya, juga perlu diterapkan secara ketat pada komoditas pangan agar keamanannya terjamin bagi konsumsi masyarakat.
OECD memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia terkait kebijakan pembangunan pertanian. Dalam laporan OECD yang dipresentasikan hari ini, perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada dinilai salah arah.
Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD Ken Ash, mengatakan Indonesia lebih baik fokus pada komoditas yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di pasar global dalam produk ekspornya.
Dalam laporannya, OECD merekomendasikan Indonesia untuk fokus pada peningkatan ketahanan pangan nasional dengan penanaman modal pertanian yang lebih tinggi dan meninggalkan tujuan swasembada pangan.
Rekomendasi ini ditentang oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA). Ketua Umum KTNA Winarno Tohir menjelaskan, swasembada merupakan hal mutlak yang harus dijalankan pemerintah untuk kemandirian pangan. Dengan kemandirian pangan ini, Indonesia akan bisa memenuhi kebutuhan pangan dari dalam negeri dan tidak ketergantungan pada impor.
“FAO sendiri sudah menyampaikan 1 dari 8 orang akan kelaparan. Ke depan dunia juga akan menghadapi perubahan iklim global, karena itu kita harus bisa mandiri pangan melalui swasembada,” ujarnya.
Secara hitungan ekonomi, lanjutnya, pencapaian swasembada untuk mandiri pangan memang membutuhkan biaya besar. Berbeda dengan ketahanan pangan yang lebih mudah dicapai karena pemenuhan kebutuhan pangan bisa didapat dari impor.
“Tapi jika hanya mengandalkan ketahanan pangan ini, manakala situasi dunia terganggu maka pemenuhan pangan nasional akan ikut terpengaruh,” kata dia.
Untuk mencapai swasembada, dia menambahkan, perlu ada peningkatan usaha dari pemerintah. Selain itu juga perlu ada skala prioritas dalam pencapaian swasembada, karena tidak mungkin satu negara memenuhi seluruh kebutuhan pangannya sendiri. Porsi impor akan tetap diperlukan.
“Sekarang yang sudah hampir swasembada itu beras, jagung dan ternak. Kalau kedelai dan gula masih jauh. Minimal kita harus punya komoditas yang mampu mandiri dan swasembada,” ungkapnya.
ROSALINA