TEMPO.CO, Purwokerto – Masyarakat yang bermukim di dekat hutan Gunung Slamet mengaku khawatir dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Batuuraden. Mereka resah jika pengeboran panas bumi di lereng Gunung Slamet akan berakhir seperti kasus Lapindo di Sidoarjo. “Kami takut desa kami akan terendam lumpur,” kata Suparno, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Banyumas kemarin.
Suparno baru saja mengikuti sosialisasi yang pertama kali diadakan di wilayah itu oleh PT. Sejahtera Alam Energy (SAE). PT. SAE saat ini sedang melakukan eksplorasi di ketinggian 2.000 meter dia atas permukaan laut. Sosialisasi diadakan setelah ada desakan masyarakat yang belum menerima informasi akan proyek itu dengan jelas.
Menurut Suparno, selain dampak lumpur, ia juga khawatir dengan ketersediaan air bersih jika proyek itu sudah masuk tahap eksploitasi. Selama ini, kata dia, air bersih di kaki Gunung Slamet itu cenderung mengecil.
Budi Satrio, Kepala Desa Melung menilai sosialisasi yang dilakukan PT. SAE masih terlalu umum. “Kurang rinci. Kami tidak tahu apa dampak positif dan negatifnya lebih detil,” katanya. Ia berharap, pemerintah dan PT. SAE mengadakan sosialisasi lebih lanjut agar warganya bisa lebih tenang.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Tekad Santosa, anggota masyarakat pariwisata Baturraden. Jangan sampai Lapindo Jilid 2 terjadi di Baturraden, kata dia.
Dwi P Sasongko, Anggota Komisi Analisa Mengenai Dampak Lingkungagn Jawa Tengah mengatakan, kemungkinan adanya lumpur yang keluar dari sumur bor bisa saja terjadi. “Tapi itu sangat kecil dan tergantung dari teknis pengeborannya apakah sesuai prosedur atau tidak,” katanya.
Dwi menambahkan, saat ini hanya ada empat lokasi pengeboran yang sedang dilakukan. Dari pengeboran itu bisa keluar material logam berat termasuk zat radioaktif . Hanya saja, kata dia, material logam itu masih dalam tahap yang alamiah. Selain itu, material logam yang keluar akibat pengeboran nantinya akan diolah dulu sebelum dibuang ke lingkungan.
Ia tidak membantah jika nantinya proyek tersebut bisa menimbulkan dampak lingkungan yakni berubahnya ekosistem hutan lindung Gunung Slamet. “Makanya saya meminta agar masyarakat menjadi pengawas proyek ini,” katanya.
Aktivis Lingkungan dari Komunitas Peduli Gunung Slamet, Dhani Armanto mengatakan, penebangan pohon untuk proyek tersebut akan berdampak pada ekosistem hutan. “Banyak flora dan fauna endemik Slamet yang akan terganggu habitatnya,” kata dia.
Ia meminta, pembangunan PLTPB hendaknya dilakukan di daerah yang tidak ada hutan lindungnya. Menurut dia, saat ini hutan di lereng Gunung Slamet merupakan satu-satunya hutan yang masih perawan di Jawa Tengah. Di lereng gunung itu, masih ada Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang populasinya semakin sedikit.
General Manager PT. SAE, Petto Rashido mengatakan, pihaknya akan memperhatikan kelestarian alam dalam membangun proyek itu. “Kami patuhi semua undang-undang yang berlaku,” kata dia di sela-sela sosialisasi.
Ia mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengadakan eksplorasi. Adapun izin dari kementerian kehutanan sudah turun berupa izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. Luas wilayah kerja penambangan mencapai 24.660 hektare yang membentang di lima kabupaten di lereng Gunung Slamet. Dari luas itu, daerah eksplorasi mencapai 50 hektare.
Menurut dia, rencananya eksploitasi akan dimulai tahun 2017 dengan kapasitas terpasang mencapai 110 megawatt. Dengan adanya proyek tersebut, ia berharap masyarakat di sekitar gunung akan bertambah sejahtera. “Tolong jangan khawatir dengan proyek ini. Ini demi kepentingan nasional,” katanya.
Gentur Waluyo, Ketua Program Studi Teknik Geologi Unsoed mengatakan, membangun proyek di hutan lindung merupakan pilihan yang sulit. “Tapi demi kepentingan nasional, ini harus di dukung,” katanya.
Ia mengatakan, pembangkit panas bumi merupakan pembangkit non-karbon yang ramah lingkungan. pembangkit ini mensyaratkan adanya lingkungan yang hijau agar uap air bisa terus ada.
ARIS ANDRIANTO