TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan program percepatan pembangkit 10.000 Megawatt tahap II tidak lagi menggunakan kontraktor asal Cina. Alasannya, pada tahap II ini sebagian besar yang dibangun adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Faktor lainnya, kinerja kontraktor asal Cina terbukti kurang maksimal.
Dia menjelaskan seluruh pembangunan proyek tahap I yang berupa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang masuk dalam program itu terus molor dari jadwal yang ditentukan. Proyek molor 6 bulan, 9 bulan, bahkan ada yang molor hingga 1 tahun.
“Memang perbedaan kontraktor Cina dn Jepang itu adalah soal ontime. Kendala tertundanya proyek ini ada di kontraktor,” kata Pamudji saat ditemui di sela-sela rapat dengan Komisi Energi DPR di gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis, 15 Maret 2012.
Untuk proyek tahap II ini, menurut dia, dipastikan tidak ada kontraktor dari Cina. Pasalnya, kontraktor yang mengerjakannya berasal dari Jepang, dan ada juga dari Australia dan Selandia Baru. Bagi kontraktor yang molor dari jadwal pemerintah sudah menyiapkan sanksi berupa denda maksimal 10 persen dari nilai kontraknya.
Kontraktor Cina dipilih pada proyek tahap I, kata Pamudji, diakui karena nilai kontraknya yang lebih murah dari penawaran lain. Namun seluruh proyek menjadi tertunda dengan berbagai alasan, sehingga kontraktor asal Cina telah mendapatkan sanksi. “Sebenarnya semuanya bisa terbangun, tapi terlambat semua. Seperti di Indramayu yang jadi meski terlambat,” ujarnya.
Seperti diketahui program percepatan 10.000 Megawatt berjalan sejak 2006 lalu dan diatur dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2006, tapi pembangunannya hingga saat ini belum juga selesai.
PLTU dalam program percepatan 10.000 megawatt, kata Pamudji, dibangun oleh kontraktor asal Cina. Dari 37 PLTU yang dibangun hanya 1 PLTU, yaitu PLTU Labuan, yang pelaksanaan pembangunannya tepat waktu.
ROSALINA