"Ini data saya dapatkan dari Ditjen Pajak, bukan saya mengada-ada," kata Iwan dalam Seminar Reformasi Perpajakan bertajuk "Membedah Problematika Kebijakan dan Mafia Perpajakan di Indonesia", di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (29/6).
Hampir semua perusahaan multinasional di Indonesia, kata Iwan, mempraktekkan transfer pricing, transaksi "dengan harga khusus" antarpihak yang memiliki hubungan istimewa. "Bahkan berdasarkan data Organization for Economic Co-operation and Development, 60 persen dari total perdagangan di dunia terindikasi melakukan praktek TP," ujarnya.
Menurut Iwan, transfer pricing adalah akal-akalan kewajaran menangguk untung dengan menciutkan beban pajak. Iwan menyatakan, kasus transfer pricing biasanya dilakukan oleh perusahaan asing yang memiliki anak perusahaan di Indonesia.
"Ada perusahaan eksportir batu bara yang menjual batu bara jauh di bawah harga pasar ke perusahaan induknya di luar negeri, tetapi faktanya, barang masuk ke pasar bebas dengan harga pasar," ungkapnya.
Selama ini, ia menilai, Direktorat Jenderal Pajak tidak serius menangani kasus-kasus transfer pricing. "Bayangkan, pegawai pajak yang menangani transfer pricing hanya 12 orang," ujar Iwan. Seksi transfer pricing pun baru dibentuk pada 2007. "Padahal praktek ini ada sejak lama sekali."
Menanggapi Iwan, Kepala Subbidang Informasi Perpajakan Lucky Al Firman mengatakan, permasalahan transfer pricing adalah permasalahan yang dihadapi seluruh negara di dunia. "Tidak hanya di Indonesia," ujarnya.
Meski demikian, menurut Lucky, Ditjen Pajak menelusuri indikasi praktek transfer pricing yang dilakukan wajib pajak. "Sering kali kasus yang kami temui adalah adanya ketidakcocokan antara bukti transfer dan barang yang ada di lapangan," ujarnya.
Bukti transfer sering kali sah dan tidak ada kesalahan, sehingga mengecoh Ditjen Pajak. Ia menyatakan, praktek ini dapat diminimalkan jika pengawasan dilakukan secara ketat dan satu pintu.
Ketua Komisi Pengawas Perpajakan Anwar Suprijadi mengatakan, praktek transfer pricing memang banyak dilakukan perusahaan. Namun, ia meragukan data potensi kehilangan penerimaan pajak akibat transfer pricing sefantastis angka Iwan Piliang. "Ada potensi penerimaan yang hilang, tapi tidak sebesar itu," ujar Anwar, yang juga hadir dalam seminar tersebut.
Menurut Anwar, praktek transfer pricing merupakan penggelapan pajak dengan tingkat kerumitan yang tinggi, sehingga dibutuhkan tenaga ahli untuk menguak praktek ini. "Ditjen Pajak sudah punya ahlinya, tapi memang belum banyak jumlahnya," ujarnya.
FEBRIYAN