TEMPO.CO, Jakarta - Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan Indonesia untuk mencapai swasembada pangan dalam tiga hingga empat tahun ke depan dengan rencana membuka lahan pertanian seluas empat juta hektar pada akhir masa jabatannya.
Guru Besar Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Subejo, menyebut bahwa target tersebut sulit dicapai tanpa kebijakan yang mendukung, mengingat banyak tantangan yang dihadapi sektor pertanian sebagai pilar ketahanan pangan.
Dilansir dari ugm.ac.id, Salah satu tantangan utama adalah konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang terus meningkat. Di tengah perubahan iklim, alih fungsi lahan ini mengancam upaya peningkatan produksi pangan, terutama padi, yang permintaannya terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk.
Subejo menyarankan agar pemerintah memiliki kebijakan dan program yang komprehensif, mencakup ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi, dengan kolaborasi antara lembaga pusat dan daerah. Untuk ekstensifikasi, pembukaan lahan baru perlu dibatasi pada daerah yang cocok untuk pertanian sehingga dapat dikelola dengan lebih baik.
Di sisi lain, intensifikasi di area produksi pangan utama juga penting, mengingat produktivitas lahan basah masih kurang dari optimal. Dengan sistem irigasi yang baik, intensitas tanam bisa ditingkatkan menjadi dua kali dalam setahun atau bahkan tiga kali di wilayah yang memiliki ketersediaan air memadai.
Tantangan lain yang dihadapi adalah masalah pasca-panen, terutama harga yang anjlok saat panen raya akibat distribusi logistik yang belum merata di seluruh Indonesia. Selain itu, ia mendorong pengembangan industri pengolahan untuk memproses hasil panen berlebih sehingga tetap memiliki nilai ekonomi yang stabil.
“Dengan sistem informasi, peluang distribusi produk lebih merata sehingga stabilitas harga dapat terjamin,” ujarnya. Selain itu, menurutnya, juga perlu didorong industri pengolahan yang bermanfaat ketika produk mentah melimpah maka dapat diproses dan diawetkan dan tetap memiliki nilai ekonomi yang memadai.
Untuk mengatasi keterbatasan literasi finansial di kalangan petani, penting untuk menemukan solusi yang efektif. Meskipun pemerintah memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR), program ini belum berjalan baik karena petani masih menganggapnya merepotkan. Wakil Dekan Fakultas Pertanian menyarankan integrasi pembiayaan dan edukasi literasi keuangan bagi petani, serta mendekatkan layanan keuangan ke desa-desa.
Selain itu, pemahaman teknologi yang rendah di kalangan petani menyebabkan proses usaha tani tidak efisien, dengan biaya produksi beras di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Untuk meningkatkan efisiensi, perlu langkah-langkah strategis seperti konsolidasi lahan, mekanisasi pertanian, dan inovasi budidaya yang lebih efisien.
Krisis manajemen juga menjadi tantangan, di mana petani sering kali menghabiskan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari tanpa persiapan untuk musim tanam berikutnya. Ini menyebabkan kesulitan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Pengembangan kelembagaan yang kuat dan diversifikasi produk sangat penting untuk meningkatkan daya saing petani.
Terakhir, Subejo mengkritik kebijakan impor beras pemerintah sebagai solusi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah krisis pangan di dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia di bawah pemerintahannya. Hal tersebut disampaikan Prabowo dalam pidato pertamanya usai dilantik sebagai presiden pada Ahad, 20 Oktober 2024.
"Saudara-saudara, saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya," kata Prabowo saat berpidato di ruang sidang paripurna MPR, Ahad, 20 Oktober 2024.
MICHELLE GABRIELA | NANDITO PUTRA
Pilihan Editor: Keyakinan Prabowo Bisa Wujudkan Swasembada Pangan dalam 4 hingga 5 Tahun, Kok Bisa?