TEMPO.CO, Jakarta - Daya beli masyarakat Indonesia disebut lesu dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini dikabarkan sebagai indikasi ekonomi di Tanah Air sedang terpuruk. Di sisi lain, meski daya beli menurun, masyarakat justru masih sanggup dan bahkan berbondong-bondong membeli tiket konser dan boneka Labubu senilai jutaan rupiah.
Fenomena apakah ini?
Sebelum, Koran Tempo edisi pekan kedua Oktober melaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi atau penurunan harga dalam lima bulan bertubi-tubi dari Mei hingga September 2024. Bahkan deflasi pada September secara bulanan menyentuh level 0,12 persen atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,03 persen
Sejumlah ekonom dan pengusaha menganggap deflasi beruntun sebagai gelagat lesunya ekonomi. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal misalnya, pihaknya menilai deflasi lima bulan beruntun sebagai indikasi lemahnya permintaan dan konsumsi dalam perekonomian.
Sementara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Kamdani khawatir kondisi ini berhubungan dengan lemahnya daya beli masyarakat. Apalagi, pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen atau lebih rendah dari kuartal kedua 2023 yang sebesar 5,22 persen.
Belakangan keluhan datang dari sejumlah kalangan ihwal sulitnya mencari pekerjaan dan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di sisi lain, perilaku konsumtif justru kian merajalela. Mulai dari tiket konser yang selalu ludes terjual, pembelian boneka Labubu yang antre, hingga pembelian ponsel pintar Apple teranyar.
Sebuah akun di media sosial X dengan 12 juta lebih pengikut, yakni @kegblknunfaedh mengunggah foto potongan kertas dengan tulisan tangan. Note atau catatan tulis itu mempertanyakan fenomena ekonomi apa yang telah terjadi ihwal daya beli lesu tapi masyarakat berbondong-bondong beli barang tidak murah.
“Fenomena apa ini... Jualan susah, harga barang pada naik, PHK di mana-mana. Tapi, tiket konser habis, boneka Labubu antri, Iphone 16 open PO. Yang punga ilmu ekonomi tolong jelasin,” tulis pesan di kertas dalam unggahan yang diposting pada Jumat, 25 Oktober 2024.
“Bantu jelasin der,” tulis pemilik akun. Unggahan itu pun dikomentari lebih 2.2 ribu. Komentarnya beragam. Ada yang menyebut fenomena dimaksud adalah doom spending atau pengeluaran yang sia-sia. Ada pula yang menyebutnya sebagai fenomena lipstick effect atau efek lipstik.
Apa itu doom spending dan lipstick effect ini?
1. Doom spending
Menurut firma kurator kepailitan, Allan Marshall & Associates Inc, doom spending atau mengeluarkan uang secara sia-sia merupakan tindakan membelanjakan uang secara impulsif atau berlebihan ketika seseorang sedang stres atau cemas.
Terdapat beberapa faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan doom spending, salah satunya adalah kepuasan instan. Hal ini terjadi karena otak manusia suka mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit.
Itulah mengapa doom spending ini sering kali dilakukan selama masa ekonomi sulit, seperti krisis global, masalah pribadi, atau memandang masa depan yang tidak pasti.
Dengan menghabiskan uang untuk hal-hal yang diinginkan, memacu produksi hormon dopamin yang menyebabkan rasa senang. Pelarian sementara dari stres dan kecemasan itu mendorong seseorang untuk terus belanja.
Doom spending juga dipengaruhi oleh media sosial yang acap menampilkan kemewahan dan kesuksesan orang lain. Perbandingan diri-sendiri dengan orang lain dapat menciptakan tekanan untuk bersaing. Akibatnya, seseorang rela menghabiskan uang melebihi kemampuan untuk memenuhi harapan masyarakat.
2. Lipstick effect
Dilansir dari verywellmind.com, ketika ekonomi tampaknya sedang menurun dan uang terbatas, orang cenderung mencari cara untuk mengatasinya. Seperti membatasi pengeluaran atau menabung terlebih dahulu untuk dapat membeli barang incaran, disebut juga underconsumptioncore dan gerakan Buy Nothing.
Berbeda dengan dua cara di atas, pertama kali diusulkan oleh ekonom dan profesor sosiologi Juliet Schor dalam bukunya 1998, “The Overspent American,” “efek lipstik” menggambarkan fenomena di mana orang—kebanyakan wanita—cenderung berbelanja barang-barang mewah kecil, yaitu lipstik selama masa ketidakpastian ekonomi.
Istilah “efek lipstik” dicetuskan oleh miliarder dan pewaris Perusahaan Estée Lauder, Leonard Lauder pada 2001 ketika ia melihat lonjakan penjualan lipstik perusahaan tersebut pasca 9/11. Saat itu istilah ini mengacu pada “kecenderungan penjualan kosmetik wanita berbanding terbalik dengan ekonomi.”
“Dengan kata lain, ketika ekonomi sedang menurun, pengeluaran wanita untuk kosmetik terbukti meningkat,” kata Colleen Kirk, peneliti perilaku konsumen dan profesor pemasaran di Sekolah Manajemen Institut Teknologi New York.
Meski namanya identik dengan kosmetik, efek lipstik tidak hanya terjadi pada industri kecantikan dan produk tata rias. Efek lipstik hanyalah indikator ekonomi yang telah dipelajari oleh para ekonom dari waktu ke waktu. Lindsay Bryan-Podvin, terapis keuangan bersertifikat untuk layanan pembayaran seluler Cash App mengatakan, teori ini merupakan hasil pengamatan bahwa orang cenderung menghabiskan uang untuk kemewahan atau kesenangan kecil
“Sambil lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang untuk barang-barang yang lebih mahal selama periode krisis ekonomi,” katanya.
Hasil survei Inventure 2024 tentang Indonesia Market Outlook 2025 menunjukkan lipstick effect saat ini tengah menyerang Gen Z. Ironisnya, mereka menggunakan modalnya dari pinjaman online atau pinjol. Total ada 34 persen Gen Z pernah mengakses utang daring dalam enam bulan terakhir pada September 2024.
“Alasan paling dominan untuk memberli barang konsumsi, seperti gadget premium,” kata Yuswohady, Managing Partner Inventure, dalam Press Conference secara daring Indonesia Industry Outlook 2025 bertajuk tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul? Pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Yuswohady menyebut fenomena Gen Z yang mengakses pinjol ini karena lipstick effect. Dia menyebut dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, fenomena lipstick effect ini semakin menonjol di kalangan Gen Z.
“Ketika tekanan finansial meningkat, banyak dari mereka mencari pelarian melalui pembelian barang-barang affordable luxury, seperti produk kecantikan, pakaian branded terjangkau, atau aksesoris mewah kecil,” kata dia.
ADIL AL HASAN | MELYNDA DWI PUSPITA | MYESHA FATINA RACHMAN I KORAN TEMPO | TECH.CO I BLOOMBERG
Pilihan Editor: 7 Faktor Penurunan Daya Beli Masyarakat