TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengkritik rencana Kementerian Pertanian (Kementan) yang ingin PT Pupuk Indonesia berada di bawah alur koordinasi mereka. Ia mengatakan, langkah itu tak akan mengentaskan masalah ketersediaan pupuk yang saat ini dialami petani.
“Kalau mau membenahi secara holistik itu tidak cukup. Saya yakin tidak akan mengentaskan masalah,” ucap pakar pertanian lulusan Universitas Jember itu saat dihubungi Tempo, Rabu, 23 Oktober 2024.
Usul agar Pupuk Indonesia di bawah Kementan ini diucapkan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono pada Jumat, 27 September 2024. Tak hanya Pupuk Indonesia , ia mengusulkan Perusahaan Umum (Perum) Bulog berada alur kooordinasi kementeriannya. Hal ini bertujuan memudahkan koordinasi agar Kementan menjadi leading sector pangan dari hulu ke hilir.
Sudaryono mengatakan, usulan tersebut bakal diajukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang pengelolaan pertanian pada tahun depan. "Intinya organisasi tetap ada di situ semua tapi 'ketua kelas"-nya adalah Menteri Pertanian," ucap Sudaryono lewat keterangan tertulis.
Khudori mengungkap, masalah yang dialami petani saat ini adalah subsidi pupuk yang tidak sampai ke tangan mereka. Selain itu, ketersediaan pupuk di kalangan petani sampai saat ini masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai.
Akar masalahnya, Khudori menyebut mekanisme subsidi pupuk yang diberikan pemerintah saat ini bersifat tidak langsung dalam bentuk selisih harga gas. Dengan subsidi itu, pemerintah berharap harga gas akan lebih rendah. Harga pupuk di level petani pun juga menjadi lebih terjangkau.
Namun, Khudori menilai mekanisme subsidi semacam ini lebih cocok disebut sebagai kebijakan energi yang ditujukan kepada industri, bukan petani. Sebab, aktor paling diuntungkan adalah industri. Pemerintah lewat kebijakan ini menjamin mereka mempunyai pasar dan produk-produk mereka akan terserap.
Sedangkan di level petani, masalah penyaluran pupuk subdisi sejak puluhan tahun lalu tak kunjung selesai. “Kalau mau serius, ubah mekanisme subsidinya. Jangan subsidi kepada industri, tapi subsidi langsung kepada petani,” ucap Khudori.
Kalau subsidi diberikan langsung kepada petani, pemerintah tinggal perlu memperhatikan penentuan sasrannya. Target penerima subsidi, menurut Khudori, harus terus diperbarui. Sebab, status kepemilikan lahan di lapangan terus berubah dengan cepat.
Khudori mencontohkan, sebuah lahan yang disewa seseorang pada tahun ini, bisa jadi akan berganti penyewa pada tahun berikutnya. Dalam kasus semacam ini, pemerintah harus memastikan siapa yang akan menjadi penerima subsidi. “Kalau itu yang dilakukan, pasti di lapangan tidak akan ada dualisme harga. Yang sekarang dengan subsidi itu kan ada pupuk subsidi ada pupuk nonsubsidi ini menciptakan moral hazard yang luar biasa,” ucap penulis buku Bulog dan Politik Perberasan itu.
Kalau pupuk selalu tersedia dan mudah diakses, Khudori mengatakan petani pasti akan mengejar penggunaan pupuk itu. Meski harganya mahal, petani tertentu yang sesuai kriteria akan mendapatkan subsidi. Dalam struktur kelompok usaha tani, Khudori mengatakan pengeluaran pupuk tak lebih dari 10 persen.
Pengeluaran terbesar untuk usaha tani--terutama di komoditas padi, jagung, dan kedelai--adalah sewa lahan dan tenaga kerja. Dua komponen ini mengambil porsi 75-80 persen. “Pekerjaan rumah pemerintah memang di dua komponen ini. Kalau ingin menurunkan harga biaya pokok produksi, turunkan biaya dua komponen ini,” kata Khudori.
Pilihan editor: Kementerian Keuangan Tagih Utang Talangan Lapindo Rp 2,23 Triliun ke Grup Bakrie