TEMPO.CO, Jakarta - Penyelundupan pasir timah dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka diduga makin marak dengan memanfaatkan celah lemahnya pengawasan dan koordinasi dengan aparat setempat. Smelter-smelter timah di Pulau Bangka diduga kuat menjadi penampung karena tidak satu pun smelter di Belitung yang beroperasi.
Penelusuran Tempo menemukan fakta bahwa ribuan ton pasir timah keluar dari Pulau Belitung setiap pekannya. Pasir timah tersebut diselipkan diantara muatan yang dibawa truk-truk ekspedisi kemudian menyeberang ke Pulau Bangka menggunakan kapal jenis roro.
Penyelundupan dilakukan dengan dua cara yakni melalui pelabuhan resmi yakni Pelabuhan Tanjung Ru yang berada di Pegantungan Kecamatan Badau dan dua pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus di wilayah Tanjung Binga dan Tanjung Kelayang.
Di Pelabuhan Tanjung Ru, Tempo melihat bagaimana proses penyeberangan dari Pulau Belitung ke Pulau Bangka. Pelabuhan ini dilayani tiga kapal yakni KMP Menumbing Raya dengan rute pelayaran Tanjung Ru - Sadai Bangka, KMP Gorare rute Tanjung Ru - Sadai Bangka dan KMP Puteri Leanpuri dengan rute Tanjung Ru - Tanjung Nyato Kecamatan Selat Nasik Belitung.
Di pelabuhan ini tidak terlihat adanya penjagaan ketat karena kendaraan begitu bebas keluar masuk area pelabuhan tanpa ada penjaga atau aparat penegak hukum. Yang tampak hanya puluhan truk ekspedisi menunggu antrian untuk masuk ke dalam kapal.
Petugas instansi yang terlibat dalam otoritas Pelabuhan Tanjung Ru saat dikonfirmasi soal adanya penyelundupan pasir timah di Tanjung Ru saling lempar tanggung jawab.
"Kami tidak punya kewenangan untuk memeriksa apa yang dibawa oleh truk-truk yang menyeberang. Kami hanya menyiapkan fasilitas pelabuhan saja," ujar Wakil Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Tanjung Ru yang bernama Suhadak.
Suhadak sempat menyebutkan tanggung jawab pemeriksaan barang ada pada PT Angkutan, Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Namun dia meralat keterangannya setelah Supervisor ASDP Tanjung Ru Sukisman datang menemaninya wawancara dan menyebut pemeriksaan barang tanggung jawab aparat penegak hukum.
"Soal muatan tidak tahu karena bukan kewenangan kami. Setiap keberangkatan kita hanya mengecek dokumen. Kita tidak bisa menuduh atau mencurigai kendaraan membawa pasir timah ilegal karena orang bisa marah," ujar dia.
Supervisor ASDP Tanjung Ru Sukisman pun enggan berkomentar terkait dugaan penyelundupan pasir timah tersebut. Dia berdalih tidak bisa menyampaikan keterangan dari perusahaan. "Saya tidak berwenang berkomentar karena ada GM (ASDP) yang saat ini sedang ada di Bangka," ujar dia.
Sementara itu BT kolektor timah asal Bangka yang ditemui di Pelabuhan Tanjung Ru mengatakan transaksi jual beli timah dilakukan dengan sistem Cash On Delivery (COD). Dia mengaku langsung membeli pasir timah dari pengepul kecil kemudian ditampung ke dalam gudang.
"Jika sudah banyak saya kirim ke Bangka selanjutnya dijual lagi ke smelter. Ini saya antri mengirimkan barang ke Bangka. Didepan saya ada 19 mobil. Nomor antrian saya 20," ujar dia.
BT menyebutkan pengiriman pasir timah ke Bangka dengan menggunakan jasa truk ekspedisi yang memuat barang lain. Setiap mobil, kata dia, bisa ada 5 ton sampai 10 ton pasir timah. "Jika kapal berangkat, saya tinggal memastikan barang saya tiba di Bangka tepatnya di Pelabuhan Sadai. Selanjutnya dibawa ke Pangkalpinang dan dijual lagi ke smelter," ujar dia.
Penyelundupan pasir timah via pelabuhan tikus di wilayah Tanjung Binga dan Tanjung Kelayang pun diduga kuat terjadi. Hanya saja proses penyelundupan dilakukan malam hari dengan menggunakan kapal-kapal nelayan.
Kondisi pelabuhan yang sepi tidak ada penjagaan membuat proses pengiriman begitu leluasa dilakukan. Bahkan untuk menuju pelabuhan yang tidak jauh dari Jalan Raya Sijuk ini hanya melewati jalan sempit dengan lebar dua meter saja.
"Kami sering mendengar soal penyelundupan ini. Kalau siang, di wilayah ini aktivitasnya biasa saja karena memang wilayah pelabuhan nelayan. Kalau pengiriman malam, itu mungkin saja," ujar salah satu nelayan Tanjung Binga saat berbincang dengan Tempo.