Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pelabuhan Patimban Datang, Nelayan Terpuruk

image-gnews
Rasja 65 tahun, nelayan di desa Patimban, duduk merajut jaring di lantai teras rumahnya usai pulang melaut yang hasil tangkapannya kurang dari 1  kg. Sumber: Suci Sekar | Tempo.co
Rasja 65 tahun, nelayan di desa Patimban, duduk merajut jaring di lantai teras rumahnya usai pulang melaut yang hasil tangkapannya kurang dari 1 kg. Sumber: Suci Sekar | Tempo.co
Iklan

Sementara kondisi di Dusun Genteng, Desa Patimban, Subang, Jawa Barat, sedikit lebih baik. Di sana masih ada ikan, udang, dan cumi meski jumlahnya turun signifikan. 

Toshim dan Chasdi, dua nelayan di Dusun Genteng menceritakan  mereka sering pulang melaut dengan tangan kosong. Selain faktor cuaca, jaring mereka sobek karena nyangkut ke material -- hasil pengerukan untuk pembangunan Pelabuhan Patimban-- dibuang ke pinggiran laut. 

“Nelayan ngeluh lumpur dibuang sembarangan,” ujar kedua nelayan tersebut, bersahutan. 

Dahulu, mereka bisa mendapat Rp500 ribu, sekarang turun menjadi Rp300 ribu. Tentu, ini belum untung karena modal melaut cukup mahal. Jika sudah begini, mereka terpaksa ngutang buat makan dan beli solar. 

Nelayan di Dusun Genteng tak tinggal diam menghadapi situasi buruk ini. Mereka pernah berunjuk rasa ke otoritas Pelabuhan Patimban, tiga kali. Tidak dapat jawaban memuaskan, warga malah dibebani syarat melapor yang bermacam-macam sehingga mereka memilih mencari ikan di tempat lain. 

“Anak saya enggak pengen jadi nelayan. Nelayan enggak ada yang sugih,” ujar Chasdi.  

Pengurus KUD TPI Dusun Genteng, Koperasi Tanjung Mataram, Waslim mengungkap pada 2019 ada 156 nelayan anggota KUD. Namun setelah ada pembangunan pelabuhan, tinggal 56 orang yang aktif. 
Sedangkan Kantor KUD Mina Misaya Huna Dusun Terungtum kondisinya kosong. Tidak ada aktifitas sama sekali karena sejak Januari 2024 tidak ada ikan sama sekali.

Staf KUD Mina Misaya Huna, Daryono mengatakan tidak ada lagi nelayan yang aktif melaut di dusun itu. Dahulu, KUD ini memiliki 12 karyawan, tapi sekarang mereka  mencari pekerjaan lain agar dapur tetap ngebul. 

“Bagaimana KUD mau menggaji karyawan karena yang dilelang enggak ada. Kami nasibnya sama dengan nelayan,” ujarnya. 

Diperkirakan 800 nelayan di Desa Patimban dan 200 orang di Desa Ujung Gebang, Indramayu terdampak akibat pembangunan pelabuhan besar ini. Mereka kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa Patimban terdiri dari lima dusun, dengan jumlah penduduk 8.352 jiwa.  

Pembangunan Pelabuhan Patimban membuat para nelayan jatuh miskin. Mereka terpaksa harus ngutang untuk menyambung hidup. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rasja menceritakan bank keliling menawarkan kemudahan berutang bagi warga di Dusun Terungtum. Cukup dengan ‘jaminan’ fotokopi KTP dan Kartu Keluarga. 

Besar angsuran mulai dari Rp125 ribu perminggu. Ketika jatuh tempo, debt collector tak mau tahu, tagihan harus dibayarkan. Bahkan mereka mau menunggu di rumah klien hingga angsuran dibayarkan.“Kalau nelayan lagi melaut pun, mereka tunggui,” ujar Rasja. 

Sedangkan warga yang ingin berutang ke bank konvensional, membutuhkan surat keterangan usaha dari kantor desa. Pada 2022 Kantor Desa Patimban menerbitkan 298 surat keterangan usaha dan naik menjadi 305 pada tahun berikutnya. 

Maulana, staf Kantor Desa Patimban menceritakan istri seorang nelayan pernah datang untuk meminta surat keterangan kematian suaminya. Pasalnya, suaminya nekat melaut gara-gara ditunggui debt collector bank keliling. Padahal waktu itu, air laut sedang pasang,  nelayan itu akhirnya meninggal dilumat ombak.     

Daryono mengatakan buangan material dari pembangunan Pelabuhan Patimban di perairan sekitar pantai memaksa para nelayan harus melaut lebih jauh. Risiko keselamatan nelayan pun jadi taruhannya.

Untuk mengurangi dampak negatif ini, pemerintah telah mengucurkan sejumlah bantuan. Ranita mengatakan ada pelatihan mengelas dan kemudahan mendapat SIM untuk nelayan dan pemilik kapal, pelatihan memasak untuk istri nelayan,  pemberian sembako dan 10 unit perahu kayu. 

Sayang, rangkaian pelatihan itu umumnya berlangsung sekitar seminggu. 

Agus Rahmat, 52 tahun, warga Dusun Teruntum mengatakan beberapa warga yang mengikuti pelatihan kemudian bekerja di pembangunan pelabuhan. Namun  jika pembangunan selesai, bagaimana nasib mereka?
Antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Selly Riawanti mengatakan idealnya semua proyek pembangunan harus didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) karena ada evaluasi terhadap dampak sosial dan ekonomi.  

Menyarankan nelayan berganti pekerjaan itu tidak mudah. Biasanya ini membuat warga tercerabut dari akar budayanya. 

“Mengubah mata pencaharian penduduk karena faktor eksternal seperti bencana alam, dan pembangunan, itu pasti berat. Apalagi kalau harus mengganti mata pencahariannya, ini seperti menghapus pekerjaan mereka,” kata Selly. 

Ia menjelaskan mata pencaharian adalah dasar kehidupan masyarakat. Nelayan bukan hanya pekerjaan, tapi suatu kebudayaan. 

Selly menilai dalam jangka pendek tidak ada solusi terbaik bagi kasus nelayan di Desa Patimban. Sebab menghentikan proyek pembangunan juga tidak bijaksana. 

Ia menyarankan pemerintah memberi perahu-perahu yang lebih besar dan pelatihan kemaritiman yang canggih kepada para nelayan supaya mereka bisa berlayar lebih jauh. 

“Berdayakan mereka tetap sebagai nelayan yang lebih canggih, bukan jadi buruh bangunan. Masyarakat bahari harus lebih berdaya, agar anak-anak muda pun tertarik menjadi nelayan,” kata Selly. 

Selanjutnya baca: Dampak lingkungan

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kemendag soal Utang Rafaksi Minyak Goreng: Sudah Dibayar 90 Persen

1 jam lalu

Pedagang pasar tengah melayani pembeli minyak goreng merek Minyakita di pasar Palmeriam, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024. Sebelumnya HET minyak goreng merek pemerintah itu dijual Rp 14.000/liter. TEMPO/Tony Hartawan
Kemendag soal Utang Rafaksi Minyak Goreng: Sudah Dibayar 90 Persen

Kemendag sebut dari 54 pelaku usaha yang diutangi pemerintah, tersisa tujuh perusahaan yang belum mereka tuntaskan proses pelunasannya.


Bayar Utang Luar Negeri, Cadangan Devisa Menyusut Tipis

2 jam lalu

Ilustrasi mata uang asing. (Euro, dolar Hong Kong, dolar A.S., Yen Jepang, Pounsterling Inggris, dan Yuan Cina).  REUTERS/Jason Lee
Bayar Utang Luar Negeri, Cadangan Devisa Menyusut Tipis

Bank Indonesia (BI) mencatat adanya penurunan cadangan devisa sebesar Rp 0,3 milliar dolar AS.


Utang Pinjol dan Pegadaian Meningkat, Ekonom INDEF: Masyarakat Kelas Bawah Tidak Bisa Makan Tabungan

2 hari lalu

Suasana pelayanan nasabah Pegadaian Salemba, Jakarta, Selasa, 20 Februari 2024. PT Pegadaian mencatatkan kinerja positif pada tahun 2023 dengan mencetak laba bersih sebesar Rp 4,38 Triliun.  TEMPO/Tony Hartawan
Utang Pinjol dan Pegadaian Meningkat, Ekonom INDEF: Masyarakat Kelas Bawah Tidak Bisa Makan Tabungan

Ekonom menilai meningkatnya angka pinjaman online (pinjol) dan penyaluran pinjaman industri pegadaian jadi penanda tekanan masyarakat kelas bawah.


Ekspor Pasir Laut Dinilai Tambah Permasalahan Baru, Celios: Angka Pengangguran Semakin Tinggi

4 hari lalu

Ilustrasi pasir laut. Shutterstock
Ekspor Pasir Laut Dinilai Tambah Permasalahan Baru, Celios: Angka Pengangguran Semakin Tinggi

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai ekspor pasir laut justru menambah permasalahan baru di Indonesia. Selain kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi, kerugian lainnya menambah angka pengangguran di Indonesia.


Jenis Ikan Ini Berevolusi Tumbuhkan Kaki-kaki Mirip Kepiting, Fungsi Mirip Lidah Manusia

6 hari lalu

Ikan Prionotus carolinus. Newscientist.com/Anik Grearson
Jenis Ikan Ini Berevolusi Tumbuhkan Kaki-kaki Mirip Kepiting, Fungsi Mirip Lidah Manusia

Penelitian juga mengungkap susunan gen yang mendorong evolusi kaki unik jenis ikan sea robin ini.


Fenomena Doom Spending, Psikolog: Belanja Impulsif karena Stres Akibat Beban Ekonomi

7 hari lalu

Ilustrasi belanja. Shutterstock
Fenomena Doom Spending, Psikolog: Belanja Impulsif karena Stres Akibat Beban Ekonomi

Psikolog Samanta Elsener menjelaskan bahwa fenomena doom spending yang sedang jamak dibicarakan akhir-akhir ini merupakan bagian dari kebiasaan belanja impulsif atau impulsive buying.


Pertanyakan Tujuan Ekspor Pasir Laut untuk Pembenahan Jalur Pelayaran, Kiara: Ini Motif Ekonomi

7 hari lalu

Sebuah kapal tongkang pengangkut pasir laut di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Dok. TEMPO/ Fransiskus S.
Pertanyakan Tujuan Ekspor Pasir Laut untuk Pembenahan Jalur Pelayaran, Kiara: Ini Motif Ekonomi

Kiara menilai kebijakan ekspor pasir laut punya tendensi ke eksploitasi sumber daya di pesisir dan pulau-pulau kecil.


3 Dampak Negatif Doom Spending

7 hari lalu

Ilustrasi belanja. Shutterstock
3 Dampak Negatif Doom Spending

Bagi mereka yang sering melakukan doom spending dan tidak bisa mengontrol pengeluaran, potensi bangkrut semakin besar.


KKP Sebut Nelayan Salah Paham Pengambilan Sampel Pasir Laut

7 hari lalu

Sebuah kapal tongkang pengangkut pasir laut di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Dok. TEMPO/ Fransiskus S.
KKP Sebut Nelayan Salah Paham Pengambilan Sampel Pasir Laut

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan ada salah paham dari masyarakat pesisir terhadap aktivitas pengambilan sampel pasir laut.


Utang Pemerintah per Agustus 2024 Turun jadi Rp 8.461,93 Triliun, Begini Penjelasan Kemenkeu

8 hari lalu

Gedung Kementerian Keuangan atau Kemenkeu. Dok TEMPO
Utang Pemerintah per Agustus 2024 Turun jadi Rp 8.461,93 Triliun, Begini Penjelasan Kemenkeu

Jumlah utang pemerintah per akhir Agustus 2024 mencapai Rp 8.461,93 triliun, turun dibandingkan jumlah pada Juli 2024 yaitu Rp 8.502,69 triliun.