Sementara kondisi di Dusun Genteng, Desa Patimban, Subang, Jawa Barat, sedikit lebih baik. Di sana masih ada ikan, udang, dan cumi meski jumlahnya turun signifikan.
Toshim dan Chasdi, dua nelayan di Dusun Genteng menceritakan mereka sering pulang melaut dengan tangan kosong. Selain faktor cuaca, jaring mereka sobek karena nyangkut ke material -- hasil pengerukan untuk pembangunan Pelabuhan Patimban-- dibuang ke pinggiran laut.
“Nelayan ngeluh lumpur dibuang sembarangan,” ujar kedua nelayan tersebut, bersahutan.
Dahulu, mereka bisa mendapat Rp500 ribu, sekarang turun menjadi Rp300 ribu. Tentu, ini belum untung karena modal melaut cukup mahal. Jika sudah begini, mereka terpaksa ngutang buat makan dan beli solar.
Nelayan di Dusun Genteng tak tinggal diam menghadapi situasi buruk ini. Mereka pernah berunjuk rasa ke otoritas Pelabuhan Patimban, tiga kali. Tidak dapat jawaban memuaskan, warga malah dibebani syarat melapor yang bermacam-macam sehingga mereka memilih mencari ikan di tempat lain.
“Anak saya enggak pengen jadi nelayan. Nelayan enggak ada yang sugih,” ujar Chasdi.
Pengurus KUD TPI Dusun Genteng, Koperasi Tanjung Mataram, Waslim mengungkap pada 2019 ada 156 nelayan anggota KUD. Namun setelah ada pembangunan pelabuhan, tinggal 56 orang yang aktif.
Sedangkan Kantor KUD Mina Misaya Huna Dusun Terungtum kondisinya kosong. Tidak ada aktifitas sama sekali karena sejak Januari 2024 tidak ada ikan sama sekali.
Staf KUD Mina Misaya Huna, Daryono mengatakan tidak ada lagi nelayan yang aktif melaut di dusun itu. Dahulu, KUD ini memiliki 12 karyawan, tapi sekarang mereka mencari pekerjaan lain agar dapur tetap ngebul.
“Bagaimana KUD mau menggaji karyawan karena yang dilelang enggak ada. Kami nasibnya sama dengan nelayan,” ujarnya.
Diperkirakan 800 nelayan di Desa Patimban dan 200 orang di Desa Ujung Gebang, Indramayu terdampak akibat pembangunan pelabuhan besar ini. Mereka kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa Patimban terdiri dari lima dusun, dengan jumlah penduduk 8.352 jiwa.
Pembangunan Pelabuhan Patimban membuat para nelayan jatuh miskin. Mereka terpaksa harus ngutang untuk menyambung hidup.
Rasja menceritakan bank keliling menawarkan kemudahan berutang bagi warga di Dusun Terungtum. Cukup dengan ‘jaminan’ fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.
Besar angsuran mulai dari Rp125 ribu perminggu. Ketika jatuh tempo, debt collector tak mau tahu, tagihan harus dibayarkan. Bahkan mereka mau menunggu di rumah klien hingga angsuran dibayarkan.“Kalau nelayan lagi melaut pun, mereka tunggui,” ujar Rasja.
Sedangkan warga yang ingin berutang ke bank konvensional, membutuhkan surat keterangan usaha dari kantor desa. Pada 2022 Kantor Desa Patimban menerbitkan 298 surat keterangan usaha dan naik menjadi 305 pada tahun berikutnya.
Maulana, staf Kantor Desa Patimban menceritakan istri seorang nelayan pernah datang untuk meminta surat keterangan kematian suaminya. Pasalnya, suaminya nekat melaut gara-gara ditunggui debt collector bank keliling. Padahal waktu itu, air laut sedang pasang, nelayan itu akhirnya meninggal dilumat ombak.
Daryono mengatakan buangan material dari pembangunan Pelabuhan Patimban di perairan sekitar pantai memaksa para nelayan harus melaut lebih jauh. Risiko keselamatan nelayan pun jadi taruhannya.
Untuk mengurangi dampak negatif ini, pemerintah telah mengucurkan sejumlah bantuan. Ranita mengatakan ada pelatihan mengelas dan kemudahan mendapat SIM untuk nelayan dan pemilik kapal, pelatihan memasak untuk istri nelayan, pemberian sembako dan 10 unit perahu kayu.
Sayang, rangkaian pelatihan itu umumnya berlangsung sekitar seminggu.
Agus Rahmat, 52 tahun, warga Dusun Teruntum mengatakan beberapa warga yang mengikuti pelatihan kemudian bekerja di pembangunan pelabuhan. Namun jika pembangunan selesai, bagaimana nasib mereka?
Antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Selly Riawanti mengatakan idealnya semua proyek pembangunan harus didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) karena ada evaluasi terhadap dampak sosial dan ekonomi.
Menyarankan nelayan berganti pekerjaan itu tidak mudah. Biasanya ini membuat warga tercerabut dari akar budayanya.
“Mengubah mata pencaharian penduduk karena faktor eksternal seperti bencana alam, dan pembangunan, itu pasti berat. Apalagi kalau harus mengganti mata pencahariannya, ini seperti menghapus pekerjaan mereka,” kata Selly.
Ia menjelaskan mata pencaharian adalah dasar kehidupan masyarakat. Nelayan bukan hanya pekerjaan, tapi suatu kebudayaan.
Selly menilai dalam jangka pendek tidak ada solusi terbaik bagi kasus nelayan di Desa Patimban. Sebab menghentikan proyek pembangunan juga tidak bijaksana.
Ia menyarankan pemerintah memberi perahu-perahu yang lebih besar dan pelatihan kemaritiman yang canggih kepada para nelayan supaya mereka bisa berlayar lebih jauh.
“Berdayakan mereka tetap sebagai nelayan yang lebih canggih, bukan jadi buruh bangunan. Masyarakat bahari harus lebih berdaya, agar anak-anak muda pun tertarik menjadi nelayan,” kata Selly.