Di usianya yang sudah lansia, Rasja tak berpikir untuk ganti pekerjaan walau hidup sebagai nelayan di Dusun Terungtum semakin sulit. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan selain menjadi nelayan.
Rasja tak punya perahu sehingga harus menyewa. Nanti, hasil tangkapan dibagi dua dengan pemilik perahu. Biaya operasional seperti solar, rokok dan konsumsi, ditanggung Rasja. “Pernah dapat rajungan enggak sampai 1 kilogram padahal sudah melaut dari jam 4 subuh. Terpaksa, solar untuk melaut ngutang,” ujarnya.
Ia mengatakan sejak Pelabuhan Patimban diperluas, belum pernah mendapat bantuan. Ia pasrah menjalani hidup dengan pendapatan yang sangat menurun.
Dampak buruk pembangunan Pelabuhan Patimban juga menimpa Ranita, 54 tahun. Dahulu, pemilik dua perahu di Dusun Terungtum itu pernah berjaya dari usaha meminjamkan perahunya kepada nelayan dengan sistem bagi hasil.
Penghasilannya bisa Rp2 juta atau paling sedikit Rp500 ribu untuk sekali melaut. Setiap kali melaut, ongkosnya sekira Rp1 juta.
Setelah ada pembangunan Pelabuhan Patimban, setiap hari dia malah harus nombok karena ongkos melaut yang tinggi. Daripada rugi, ia memutuskan berhenti.
Dulu Ranita punya 2 unit perahu besar, satu sudah rusak. Satu lagi sudah karena bocor akibat terlalu lama parkir (dijemur) yang membuat kayu bodi perahu pecah-pecah. “Padahal modalnya ratusan juta buat beli perahu,” ujarnya.
Sebenarnya Ranita ingin memperbaiki perahunya. Namun dia ciut karena perlu ada pemecah ombak agar ombak tidak masuk ke muara sungai yang jadi jalan keluar kapal ke laut lepas. Muara juga perlu pengerukan karena mengalami pendangkalan. Hanya perahu bermesin kecil yang bisa lewat, sedangkan perahu besar seperti miliknya jika dipaksa bisa merusak mesinnya.
Agar dapurnya bisa tetap ngebul, Ranita menyewakan mobil.
Khodijah, 45 tahun, pengusaha warteg di Dusun Terungtum juga ikut merasakan dampak buruk. Dahulu wartegnya selalu ramai. Ia bisa memasak nasi sampai 15 liter per hari. Sekarang, hanya 10 liter beras. “Kalau sepi terus, mungkin saya pindah,” ujarnya.
Sebelum 2019, pelelangan ikan di pasar Dusun Terungtum ramai dikunjungi orang. Mereka membeli hasil tangkapan nelayan yang melimpah di pelelangan itu. “Sekarang, pelelangan ikan sepi. Rasanya ke depan sepi terus, dan desa bakal mati. Ini dampak dari pelabuhan,” kata Khodijah.
Saat musim hujan, tepatnya Januari hingga Februari, produksi terasi rebon bisa sampai 2 ton per hari. Sekarang produksi terasi anjlog karena rebon sulit ditemukan.
Daryono, karyawan KUD Mina Misaya Huna membenarkan kondisi sulit nelayan di Dusun Terungtum. Para nelayan susah mendapat ikan untuk dilelang. Walhasil, sekarang pelelangan ikan di Dusun Terungtum kosong.
Nelayan di Dusun Terungtum membutuhkan perahu lebih besar agar bisa berlayar lebih jauh ke tengah laut. Di pinggiran, ikan sudah susah didapat. Pemasangan beton membuat ikan-ikan kabur karena lingkungan kotor (banyak lumpur).
Daryono masih ingat dulu pemerintah daerah pernah menjanjikan para nelayan dengan bekerja di kapal, modal usaha, dan bantuan tiap bulan. Namun semuanya tinggal janji.
Para nelayan pernah mendemo pemerintah desa, protes ke kecamatan, dan unjuk rasa di pelabuhan. Tetapi pemerintah tidak kunjung menyelesaikan keberatan warga. "Kami cuma diminta tenang. Kenyataannya nol,” ujarnya.