Mahfud Md meminta pemerintah mempertimbangkan suara publik terkait Tapera. Ia menyebut, jika tidak ada kebijakan jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi peserta, maka hitungan matematisnya tidak masuk akal.
“Misalnya, orang yang mendapat gaji Rp5 juta per bulan kalau menabung selama 30 tahun dengan potongan sekitar 3 persen per bulan hanya akan dapat sekitar Rp100 juta. Untuk sekarang pun Rp100 juta tak akan dapat rumah, apalagi 30 tahun yang akan datang, ditambah bunganya sekali pun.” kata Mahfud dalam cuitan melalui akun X @mohmahfudmd pada Kamis, 30 Mei 2024.
Lebih lanjut, Mahfud bahkan mengatakan, bagi orang yang gajinya di atas Rp10 juta pun akan sulit dapat rumah karena dalam 30 tahun hanya akan mengumpulkan sekitar Rp225 juta.
Menurutnya, ada pun orang dengan gaji Rp15 juta lebih baik dibiarkan untuk mengambil Kredit Perumahan (KPR) sendiri ke bank-bank Pemerintah sejak sekarang.
“Mungkin jatuhnya malah lebih murah daripada menabung 3 persen/bulan. Apa ada kebijakan yg menjamin para penabung betul-betul dapat rumah? Penjelasan tentang ini yang ditunggu publik,” katanya.
“Tentu kita paham, potongan tabungan 3 persen utk Tapera itu ada bunganya, tapi akumulasi bunga itu sepertinya tak akan punya arti signifikan bagi keseluruhannya untuk membeli sebuah rumah kelak. Terlebih bagi mereka yang harus berhenti kerja tak sampai 30 tahun, misal, karena pensiun atau sebab lain,” kata Mahfud.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengemukakan bahwa kebijakan iuran Tapera sebaiknya bersifat opsional atau pilihan.
"Saya menilai kebijakan ini lebih baik bersifat opsional, tidak digeneralisir. Artinya pekerja yang ikut iuran Tapera adalah mereka yang belum memiliki rumah atau berencana memiliki rumah," kata Diana.
Sementara itu, bagi pekerja yang telah memiliki atau tengah mencicil rumah, maka tidak perlu ikut Tapera dan mendapat kewajiban membayar iuran.
Menurut Diana, keharusan bagi pengusaha dan pekerja membayar iuran Tapera dikhawatirkan bisa menjadi beban dan memberatkan para pengusaha dan pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani sebelumnya mengatakan, Program Tapera semakin menambah beban, baik dari sisi pemberi kerja maupun pekerja, di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Program Tapera terbaru dianggap semakin menambah beban baru di tengah adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
“Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI/Polri," kata Shinta melalui keterangan resmi, Selasa, 28 Mei 2024.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengungkap ada enam poin alasan menolak iuran Tapera. Pertama, Tapera tidak memberikan kepastian pekerja untuk memiliki rumah. Kedua, Pemerintah juga lepas tanggung jawab dengan tidak menyisihkan anggaran untuk Tapera.
Ketiga, Tapera dianggap membebani biaya hidup di tengah daya beli buruh yang diklaim turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja. Keempat, kebijakan Tapera rawan penyelewengan sebab tak ada preseden kebijakan sosial tersebut – dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.
Kelima, tabungan ini sifatnya memaksa. Keenam ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera, apalagi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sangat tinggi.
Said juga menyatakan bakal menggugat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2016 mengenai Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah berhati-hati ketika mengeluarkan suatu kebijakan yang langsung bersinggungan dengan penghasilan atau akan berefek pada daya beli masyarakat. Ketika menyasar ke masyarakat tentunya sosialisasi yang diutamakan.
“Harus ada yang menyampaikan dengan baik. Sosialisasikan. Karena ini menyangkut kepentingan masyarakat luas," kata Bambang yang juga Majelis Pembina Himperra.
Tetapi, menurut Bambang, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat dulu.
ANTARA | TIM TEMPO
Pilihan Editor Perbandingan Harta Kekayaan Kadensus 88 dan Jampidsus