TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pemerintah soal pemotongan gaji pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai polemik. Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto menilai tidak ada kepastian timbal hasil dari dana yang dikumpulkan dari iuran Tapera.
"Pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera, tapi pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera,” kata Edy melalui keterangan tertulis, Rabu, 29 Mei 2024.
Edy mengacu pada Pasal 38 ayat 1b dan 1c, yang menyebut syarat pekerja yang akan mendapatkan manfaat adalah yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah. Selanjutnya, pada Pasal 39 ayat 2c yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera.
"Ini artinya Badan Pengelola atau BP Tapera akan menentukan juga akses ke manfaat Tapera yang berupa KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah," ujar Edy. "Ini berbeda dengan BPJS yang mengutamakan asas gotong royong dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh pesertanya."
Edy mengatakan kebijakan pemotongan gaji untuk Tapera mesti dikaji ulang. Lagipula, saat ini sudah ada BPJS Ketenagakerjaan yang memberi manfaat sama dengan Undang-Undang Tapera. BPJS Ketenagakerjaan, ia berujar, sudah memiliki Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan program Jaminan Hari Tua atau JHT.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini meminta pemerintah memaksimalkan MLT saja, sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu ikut Tapera. "Kalau pekerja wajib membayar iuran 2,5 persen dari gaji dan pengusaha 0,5 persen, akan menganggu upah buruh dan cash flow perusahaan," tutur Edy.
Selanjutnya: Selebihnya, Edy mengusulkan agar pemerintah fokus ke pemenuhan kebutuhan rumah....