Said Iqbal menilai, sekalipun akumulasi iuran Tapera puluhan tahun itu ditambah dengan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera, jumlahnya tetap belum memungkinkan bagi buruh untuk memiliki rumah. "Jadi mustahil bagi buruh dan peserta Tapera untuk punya rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh tiap bulan, di masa pensiun juga tidak bisa memiliki rumah," katanya.
Said Iqbal juga menyatakan dalam lima tahun terakhir daya beli buruh turun hingga 30 persen. Penyebabnya karena tidak ada kenaikan upah selama tiga tahun terakhir. Dengan kondisi upah buruh seperti itu, kebijakan pemotongan gaji untuk Tapera semakin membebani hidup buruh. "Apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha," ucapnya.
Padahal, kata Said Iqbal, tanggung jawab pemerintah yang tertuang dalam UUD 1945 adalah menyiapkan dan menyediakan rumah untuk rakyat dengan harga murah. Namun, ia mengatakan, dalam program Tapera ini pemerintah justru hanya berperan sebagai pengumpul iuran rakyat dan buruh, tanpa berkontribusi membayar iuran untuk rakyat.
Ia mengatakan, pemerintah menunjukkan ketidakadilannya dalam skema pengenaan iuran untuk Tapera ini. "Sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan, Tapera tidak tepat dijalankan sekarang," ujarnya.
Said Iqbal juga mewanti-wanti pemerintah agar tidak memaksakan program Tapera ini. Apalagi jika hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat yang dinilai berpotensi terjadi korupsi.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera, sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen. Jadi perlu adanya pengawasan yang melekat sebelum Tapera dijalankan," katanya.
Pilihan Editor: Profil Ali Rashed Alabbar, Pemilik Burj Khalifa yang Bertemu dengan Prabowo, Diajak Keliling IKN