TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pengiriman ribuan mahasiswa Indonesia ke Jerman untuk bekerja dengan kedok magang terbongkar belum lama ini. Mahasiswa dari 33 universitas itu mengikuti magang kerja atau di sana dikenal dengan ferienjob dan beberapa orang sudah melaporkannya ke polisi karena merasa ditipu.
Menanggapi laporan tersebut, polisi melakukan penyelidikan lalu meningkatkannya menjadi penyidikan dan menyebut kasus itu sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO dengan modus mahasiswa magang ke Jerman yang melibatkan 1.900-an orang.
Kasus ini bermula dari tawaran seorang guru besar berinisial SS, yang bersama PT SHB dan CVGen, mendatangi sejumlah kampus dan menawarkan program magang ini untuk mahasiswa ke Jerman selama 3 bulan. Mereka juga menyebutkan bahwa kegiatan ini sejalan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kemendikbud dan bisa dikonversi dengan 20 kredit.
Banyak kampus kepincut. Kenyataannya, Kemendikbud sudah menolak program ini. Tapi informasi ini tidak disampaikan ke kampus. Walhasil diberangkatkan lah 1900-an mahasiswa untuk mengikuti ferienjob ini dengan membayar sejumlah uang termasuk untuk tiket PP, yang akan dipotong dari upay mereka.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan kasus pengiriman mahasiswa magang ke Jerman bisa disangka sebagai sebagai TPPO.
Trunoyudo mengatakan, terminologi TPPO yang diterapkan dalam dugaan tindak pidana perdagangan orang, didasarkan pada aturan undang-undang yang berlaku. "Dari keterangan-keterangan korban, kemudian alat bukti yang ada," kata dia kepada Tempo di Gedung Bareskrim, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Maret 2024.
Selain itu, Trunoyudo mengatakan, pemakaian terminologi TPPO dalam kasus ferienjob ini, berdasarkan sejumlah alat bukti lainnya, yang didapatkan dalam proses penyelidikan. Tercatat mahasiswa yg menjadi korban TPPO ini awalnya disebut sebanyak 1.047 orang, tapi bertambah sampai 1900-an. Polisi menyebut setidaknya ada 33 universitas yang ikut terlibat program ini.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya, menyatakan hal serupa tentang ferienjob bermodus magang mahasiswa sebagai TPPO. Secara definisi, kata dia, kasus ferienjob di Jerman masuk kategori perdagangan orang berdasarkan UU TPPO.
Bahkan sekali pun para mahasiswa mengikuti program magang bodong itu dengan sadar. Namun dalam menjalankan program ini, kata Dimas, ada relasi kuasa dan unsur penipuan. "Menurut pendapat saya, harus masuk kerangka TPPO. Unsurnya sudah masuk semua," kata dia, melalui aplikasi perpesanan, Kamis, 28 Maret 2024.
Ferienjob Bukan TPPO?
Direktur Migrant Watch Aznil Tan mengatakan penyebutan kasus magang mahasiswa ke Jerman atau ferienjob sebagai TPPO tidak tepat.
“Perlu diketahui, Jerman termasuk 10 terbaik negara yang memiliki aturan ketenagakerjaan, baik kelayakan hidup maupun pengupahan. Ini berdasarkan laporan dari IMD Business School,” kata dia di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2024.
Dia menjelaskan pada masa lalu TPPO merupakan kasus perbudakan maupun perdagangan budak yang dimulai pada perdagangan budak trans-Atlantik yang dimulai pada abad ke-15. Pada abad ke-18 praktik tersebut dihapuskan, sedangkan pada 2000 muncul istilah perdagangan manusia pada Protokol Palermo, yang dimaksudkan praktik-praktik yang memperdagangkan anak dan perempuan, seperti kerja paksa atau eksploitasi.
“Sederhananya TPPO ini seperti pengamen yang membawa anak di jalan, termasuk ke dalam TPPO. Mengeksploitasi seseorang untuk mendapatkan keuntungan dengan mengendalikannya,” kata dia.
Perbedaan TPPO era dahulu dan sekarang terletak pada kepemilikannya. Namun sekarang terletak pada pengendalian akan hak seseorang yang rentan.
Dalam kasus dugaan TPPO magang mahasiswa ke Jerman, kata dia, mahasiswa tidak dalam posisi rentan.
Dalam UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO disebutkan bahwa TPPO hanya bisa disematkan pada pelaku apabila di dalamnya ada kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, atau penipuan. Dengan kata lain, korban TPPO dalam kendali seseorang atau sekelompok orang untuk dieksploitasi agar mendapatkan keuntungan.
“Jadi keliru kalau kasus ini dinyatakan sebagai kasus TPPO,” kata dia.
Dia mengatakan ferienjob merupakan program resmi dari pemerintah Jerman bagi mahasiswa untuk mengisi waktu libur dengan berbagai pekerjaan kasar.
Permasalahannya, katanya, banyak mahasiswa asal Indonesia tidak siap kerja dan menganggap program tersebut sebagai program liburan sambil bekerja. Bahkan dalam kasus tersebut, tidak ada mahasiswa yang disekap, pulang mengalami cacat, atau mental terguncang.
Menurut dia, kasus ini lebih tepat dikatakan sebagai kesalahan prosedur penempatan mahasiswa dibandingkan dengan kasus TPPO.
“Jangan latah melabelkan kasus di dunia ketenagakerjaan sebagai bentuk TPPO, karena ini bisa jadi aib bagi negara Indonesia. Bahkan pihak Pemerintah Jerman bisa tersinggung jika program Ferienjob mengandung unsur TPPO,” kata dia.
Pembelaan UNJ
Juru Bicara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Syaifudin mengatakan apa yang terjadi saat ini, korban dari penyelenggaraan non-prosedural yang dilakukan pihak PT SHB dan CVGen dalam program magang di Jerman.
“Tidak ada niatan kami melakukan pelanggaran hukum, apalagi melakukan TPPO untuk para mahasiswanya. UNJ mengikuti program magang yang ditawarkan oleh SS, PT SHB, dan CVGen atas dasar kepentingan akademis untuk mahasiswa kami dapat meningkat kemampuan teknis dan nonteknis,” katanya.
“Alhamdulillah, kami sudah menanyakan pada mahasiswa UNJ yang ikut program itu, tidak ada hal yang berkaitan dengan eksploitasi dan kekerasan yang dialami. Mahasiswa diperlakukan dengan baik dan diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadah,” katanya.
Sekretaris Universitas Atma Jaya Jakarta, Agustina Dwi Retno Nurcahyanti mengatakan terdapat 27 mahasiswanya yang menjadi peserta magang ke Jerman atau Ferienjob. Mereka saat ini sudah kembali ke tanah air.
"Kami telah melakukan penyelidikan internal dan evaluasi yang mendalam terhadap perkembangan program Ferienjob Jerman," kata Agustina seperti dilansir dari Antara, Rabu, 27 Maret 2024.
Pihak universitas, kata dia, telah memastikan bahwa program ini langsung dihentikan sejak awal tahun begitu seluruh mahasiswa kembali dengan baik, "dan itu yang terpenting,” katanya.
IKHSAN RELIUBUN | ANTARA