TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengingatkan soal potensi gangguan kesehatan akibat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Menurut dia, minuman berpemanis dapat memicu risiko diabetes dan obesitas.
"Riset telah menunjukkan hubungan yang erat antara konsumsi minuman berpemanis atau surgary drinks dan diabetes tipe II serta obesitas," kata Dicky saat dihubungi Tempo, Jumat, 15 Maret 2024.
Dicky menjelaskan bahwa konsumsi rutin atas minuman berpemanis yang berpengaruh buruk pada kesehatan itu bahkan dilakukan oleh orang yang masih berusia muda, bahkan anak-anak. Tanggapan Dicky itu ditujukan untuk merespons wacana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) pada tahun ini.
Dicky menyatakan, konsumsi minuman berpemanis berlebihan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan bagi kesehatan, mulai dari karies gigi, jantung koroner, hingga kematian.
"Dampak kesehatan minuman berpemanis tak hanya terbatas pada diabetes dan obesitas,
tetapi mencakup berbagai permasalahan kesehatan lainnya," ujarnya.
Berdasarkan riset ilmiah soal aspek kesehatan itu, jelas Dicky, cukai minuman berpemanis dapat menjadi solusi.
"Penerapan cukai minuman berpemanis berpotensi mengurangi angka diabetes, obesitas, dan masalah kesehatan lainnya," tuturnya.
Tak hanya itu, Dicky juga mengingatkan peran literasi kesehatan yang mampu memberikan kesadaran bagi masyarakat. Edukasi yang baik untuk masyarakat dapat mendorong turunnya konsumsi minuman berpemanis yang berlebihan. Dia juga mendorong agar pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan tersebut setelah disahkan.
"Kalau tidak ada edukasi, minim literasi, akhirnya yang terjadi adalah masalah. Literasi ini yang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk memilih mana yang bisa dikonsumsi, mana yang tidak," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo menyebut bahwa aturan cukai minuman berpemanis yang akan ditetapkan pemerintah tidak tepat untuk mengurangi peredaran penyakit diabetes pada masyarakat. Sebab menurut Triyono, Produk minuman berpemanis bukan pemicu utama dari meningkatnya penyakit yang ada di Indonesia.
"Kita tahu industri minuman atau produk minuman siap saji bukan kontribusi utama dari sisi kalori," klaim Triyono di Hotel Mercure Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.
Menurut Triyono, alih-alih mencapai tujuan kesehatan, rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) justru akan menggerus pertumbuhan industri.
"Kalau cukai itu diterapkan, yang terjadi adalah industri minumannya kena: terdampak dari sisi pertumbuhannya. Tetapi isu besar yang terkait dengan kesehatan tidak akan terjawab," ujarnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan mulai tahun ini. Menurut Dirjen Bea Cukai Askolani rencana tersebut didukung oleh Kementerian Kesehatan.
Dia menjelaskan, DJBC juga berkoordinasi dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) untuk penerapan cukai MBDK pada tahun ini. Phaknya juga berkoordinasi dengan lintas kementerian untuk menyiapkan regulasi dan review kebijakan mengenai minuman berpemanis dalam kemasan. Baru setelah baru pemerintah akan mengumumkan mengenai kelanjutan rencana kebijakan tersebut pada waktunya.
Pilihan Editor: Setuju Aturan Pengetatan Barang Bawaan Impor Penumpang, Sandiaga: Bisa Beli Oleh-oleh di Tanah Abang