Fajry menambahkan, ada risiko yang muncul jika implementasi cukai MBDK tak jua diresmikan tahun ini. Mengingat bahwa pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi akan berakhir Oktober ini.
"Kita tidak tahu, apakah pemerintahan yang baru tersebut mempunyai arah yang sama dengan pemerintahan sekarang? Apakah pejabat yang terpilih nantinya masih memiliki keinginan untuk melakukan ekstensifikasi cukai, MBDK khususnya?," tuturnya.
Akan tetapi, kata Fajry, Pilpres 2024 dimenangkan oleh Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Keduanya mengusung keberlanjutan kebijakan petahana. "Boleh dibilang risiko tersebut kecil, kemungkinan akan terus diusahakan di pemerintahan yang baru, meski tahun ini gagal. Terlebih janji kampanye Prabowo-Gibran butuh anggaran besar untuk direalisasikan."
Di sisi lain, implementasi cukai MBDK akan menuai kontra dari pera pelaku usaha yang produknya dijadikan objek cukai baru. Oleh sebab itu, menurut Fajry, pemerintah perlu membuka diskusi dengan pelaku usaha. Pemerintah bisa menyampaikan bahwa kebijakan cukai minuman berpemanis tidak selamanya buruk bagi dunia usaha.
"Bisa saja pengenaan cukai ini membuka peluang baru (untuk) produk yang kandungan gulanya rendah atau tanpa gula sama sekali. Intinya, buka diskusi. Ini yang selama ini dikeluhkan oleh para pelaku usaha," ucapnya.
Bila pungutan cukai diberlakukan, kemungkinan harga minuman berpemanis akan naik pula. Konsumsi minuman berpemanis berisiko melesu dan omzet industri turut melemah. Tetapi jika turunnya omzet dijadikan acuan, Fajry menyatakan tidak akan ada objek cukai baru.
"Industri rokok pun turun, tapi tetap dikenakan cukai. Pemerintah bisa menyesuaikan besaran tarif kalau concern-nya hanya omzet. Bisa dikenakan tarif yang rendah agar omzetnya tidak turun. Menurut saya, bukan itu permasalahannya."
Pilihan Editor: Awal Pekan, IHSG Tutup Sesi Pertama Perdagangan Hari Ini di Zona Merah