TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK dapat mengerek rasio pajak. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, target cukai MBDK sebesar Rp 4,39 triliun.
Menurut Fajry, pungutan cukai ini mungkin tidak akan berdampak banyak bila dikaji dari sudut pandang anggaran. Akan tetapi dapat dibandingkan dengan target cukai tahun 2024 sebesar Rp 246 triliun atau perpajakan Rp 2.309 triliun.
"Namun, dari momentum itu akan menjadi hal yang luar biasa. Mengapa? Usaha melakukan ekstensifikasi barang kena cukai sudah lama sekali, dimulai pascareformasi 1998, namun sampai sekarang belum satupun terealisasi," katanya kepada Tempo, dikutip pada Senin, 26 Februari 2024.
Apabila rencana pungutan cukai MBDK ditetapkan, kata Fajry, akan menjadi milestone baru. Kebijakan tersebut dapat menjadi harapan bagi pungutan cukai untuk berkontribusi dalam penerimaan negara. Selama ini, menurut dia, Indonesia sangat bergantung pada penerimaan cukai rokok. Padahal, industri rokok yang besar-besar sudah melesu.
"Bukan tak mungkin, pungutan cukai dapat mengerek tax ratio kita. Selama ini kita diskusinya terlalu sempit hanya pajak saja."
Jika berkaca pada negara Thailand yang punya rasio pajak cukup tinggi, sekitar 16,4 persen. Fajry menyebut, sebanyak 35 persen penerimaan perpajakannya disumbang dari cukai.
"Hanya saja, perlu objek-objek cukai baru, tak hanya tambahan dari MBDK saja. Di samping, ada tujuan pengendalian yang menjadi alasan utama dari pengenaan cukai," ucapnya.
Selanjutnya: Fajry menambahkan, ada risiko yang muncul jika implementasi cukai....