TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kenaikan harga beras yang bisa mengerek inflasi komponen bergejolak.
Menurut dia, untuk saat ini sepertinya tidak banyak yang bisa dilakukan, mengingat produksi beras cukup terbatas karena masih menunggu masa panen di daerah penghasil.
“Paling untuk menahan laju harga supaya tidak semakin liar, yang membuat inflasi meningkat, adalah dengan lebih banyak menggelontorkan beras SPHP (stabilisasi pasokan dan harga pangan),” ujar Eko ketika dihubungi Tempo, Minggu, 25 Februari 2024.
Eko pun menilai penurunan harga beras untuk saat ini sulit. Pelandaian harga beras baru bisa terjadi usai panen raya. “Salah satu faktor yang kurang diantisipasi oleh pemerintah adalah panic buying menjelang Pemilu, di mana Bansos masif dipercepat dan saat bersamaan kebutuhan non Bansos juga naik,” tuturnya. “Di sisi lain, supply tidak bisa mengimbangi secara cepat digelontorkan ke pasar.”
Pengamat Komoditas dan Mata Uang, Lukman Leong, mengatakan bahwa satu hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjual beras dengan harga murah.
“Kalau kekhawatiran inflasi dipicu oleh satu hal spesifik dalam hal ini beras, maka saya lihat pemerintah sebaiknya melakukan operasi pasar menjual beras murah,” ujar Lukman ketika dihubungi pada di hari yang sama.
Menurut dia, saat ini stok beras terbilang sulit dan harganya mahal. “Saya tidak melihat opsi lain (selain jual harga murah) karena hal ini bersifat seasonal atau musiman.”
Sebelumnya, Sri Mulyani was-was dengan kenaikan harga beras belakangan ini. Sebab, menurut dia, melonjaknya harga beras bisa mengerek inflasi komponen bergejolak atau volatile food.
Menkeu menuturkan, inflasi di Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara maju maupun inflasi global. Inflasi Indonesia per Januari 2024 tercatat 2,57 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (year on year/yoy).
"Meskipun kita juga waspada terhadap kenaikan harga beras bulanan yang mencapai 7,7 persen year to date," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita pada Kamis sore, 22 Februari 2024.
Sri Mulyani menuturkan, hingga 21 Februari 2024, rata-rata harga beras telah mencapai Rp 15.175 per kilogram. "Ini yang memberikan kontribusi terhadap inflasi volatile food di dalam headline inflasi kita."
Dia menyebutkan, ada beberapa harga pangan lain yang juga menunjukkan kenaikan. Yakni, bawang putih, cabai merah, daging ayam, dan telur ayam.
Menurut Sri Mulyani, ini menjadi tantangan menjelang Idul Fitri atau puasa Ramadan. Oleh sebab itu, kata dia, volatile food harus bisa segera distabilkan agar headline inflation Indonesia terjaga rendah ketika inflasi dunia dan negara maju juga mulai menurun.
DEFARA DHANYA | AMELIA RAHIMA
Pilihan Editor: Basuki Hadimuljono Dikabarkan Tak Masuk Kabinet Prabowo, Pengamat Ungkap Kriteria Menteri PUPR Berikutnya