TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat masih memiliki sisa insentif likuiditas sebesar Rp 122 triliun. Dana tersebut berasal dari kebijakan insentif makroprudensial berupa pemotongan giro wajib minimum (GWM) dari 9 persen menjadi 5 persen pada tahun lalu.
Dana ini menurut Gubernur BI Perry Warjiyo bisa dimanfaatkan oleh perbankan untuk menyalurkan kredit, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Perry mewanti-wanti perbankan untuk benar-benar memanfaatkan dana tersebut untuk kredit karena insentif ini dimaksudkan untuk kegiatan produktif.
“Ini ada dana Rp 285 triliun sejak tahun lalu, sekarang sudah dimanfaatkan Rp 163 triliun. Masih ada Rp 122 triliun ayo bank silahkan, dana tersedia sepanjang untuk penyaluran kredit,” ujarnya pada sesi pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur bulanan BI, Rabu, 21 Februari 2024.
Sementara itu Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial ini berlaku sejak Oktober 2023 lalu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyalurkan kredit ke sektor tertentu, seperti hilirisasi mineral dan batu bara, hilirisasi pertanian, perumahan, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Penyaluran yang sudah dilakukan adalah untuk sektor UMKM. Baik untuk pembiayaan ultra mikro maupun usaha kecil menengah. “Juga di sektor hilirisasi non minerba seperti pertanian ya, ada pangan, peternakan, perikanan. Selebihnya di sektor perumahan dan hilirisasi minerba,” ujarnya di kesempatan yang sama.
Sejak tahun lalu BI memang membuat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial untuk mendorong kredit. Dari 9 persen, saat ini GWM moneter diturunkan menjadi 5 persen. Sehingga sisa 4 persen diberikan dalam bentuk penyaluran kredit kepada sektor produktif dengan total dana sebesar Rp 285 triliun.
MAHADEVI PARAMITA PUTRI (Magang RRI)