TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, bangkrutnya sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam beberapa tahun terakhir tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Sebab BPR hanya rata-rata Rp 6 miliar
"Namun, memang persaingan BPR saat ini semakin ketat. Selain fintech, bank umum juga masuk ke daerah-daerah melalui digitalisasinya," katanya ketika dihubungi Tempo pada Senin, 19 Februari 2024.
Kebangkrutan BPR hampir selalu terjadi setiap tahun. Secara umum, kata Eko, faktor penyebabnya adalah kegagalan dalam tata kelola dan kesalahan dalam manajemen.
"Jadi, tutupnya BPR ini sebenarnya fenomena yang hampir selalu terjadi setiap tahun, di mana umumnya terkait aspek kegagalan tata kelola dan salah manajemen," ujar dia.
Selain itu, menurut Eko, BPR juga semakin sulit bertahan dalam kompetisi dengan lembaga fintech. Pasalnya, fintech langsung menyasar segmen pasar yang juga selama ini menjadi target BPR, dengan keunggulan teknologi atau digitalisasi.
Selama dua bulan berjalan pada 2024, tercatat ada empat BPR yang bangkrut dan dilikuidasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Empat BPR yang telah dicabut izinnya oleh OJK itu adalah Koperasi BPR Wijaya Kusuma, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto, PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, dan PT BPR Bank Pasar Bhakti. Eko memperkirakan akan ada BPR lagi yang ditutup.
"Selain faktor tata kelola, persaingan, kondisi ekonomi juga mulai menurun, terdampak perlambatan global," tuturnya. "Perlu peningkatan pengawasan internal dan juga peran OJK agar ke depan BPR bisa berkembang dan berperan bagi masyarakat daerah sekitar."
ANNISA FEBIOLA
Pilihan Editor: Sidang Korupsi Akuisisi Kontraktor Tambang PTBA, Dirut: SBS Sudah Beri Manfaat Optimal