TEMPO.CO, Jakarta - Faisal Basri, Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), mengomentari kebijakan gelontoran bantuan sosial yang belakangan gencar dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Sejumlah pihak sebelumnya terus mengkritik Jokowi yang dianggap mempolitisasi penyaluran bansos untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Menurut Faisal, penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) El Nino saat ini tidak diperlukan.
“Jadi, sudah tahu kalau El Nino-nya sudah habis, produksinya (pangan) naik kan, panennya bagus, kan. Eh dikasih BLT El Nino, itu ada urgensinya nggak?” ujar Faisal ketika ditemui usai acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024 di Hotel Westin, Jakarta, Rabu, 7 Februari 2024.
Baca Juga:
Ia menekankan bahwa bantuan sosial (bansos) seharusnya disalurkan dalam bentuk tunai setiap bulan.
“Sebagus-bagusnya bansos adalah tunai,” tuturnya.
Menurut dia, bansos dalam bentuk tunai lebih efektif dan memungkinkan penerima untuk mengatasi kekurangan pendapatan bulanan mereka dengan lebih fleksibel.
“BLT itu seharusnya diberikan per bulan. Terus (sekarang) dikasihnya dalam bentuk bansos, dalam bentuk kebutuhan pokok. Itu lebih parah lagi, kalau uang masih bisa ditaruh di bank,” ia menekankan.
Faisal menjelaskan jika pemberian BLT dalam bentuk tunai juga dapat menutup kebutuhan bulanan yang meningkat, terutama dalam situasi naiknya harga kebutuhan pokok. Ia juga menyoroti bahwa pemberian bansos dalam bentuk kebutuhan pokok seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan individu, seperti memberikan beras pada penderita diabetes atau barang yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat penerima bansos.
“Kemudian nenek-nenek nggak bisa makan, atau diabetes dikasihnya gula, beras, gula, Indomie. Jadi mengurangi efektivitas itu (bansos),” lanjut Faisal.
Faisal juga mengkritik kebijakan pemerintah memblokir anggaran Kementerian/Lembaga lewat skema automatic adjustment sebesar 5 persen. Menurut Faisal tidak ada alasan untuk melakukan automatic adjustment saat ini.
“Kan ada APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan), kalau perubahannya lebih dari 10 persen, (termasuk) perubahan asumsi maupun realokasi,” ujar Faisal,
Faisal mengatakan, pada masa pandemi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dan memberikan keleluasaan tak terbatas pada Presiden untuk merelokasi anggaran tak terbatas.
“Nah, ingat, Pak Jokowi (sekarang) nggak punya kewenangan seperti yang Pak Jokowi miliki waktu Covid-19,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerapkan kebijakan automatic adjustment dengan memblokir anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp 50,14 triliun pada tahun 2024. Setiap Kementerian/Lembaga diminta menyisihkan 5 persen dari total anggaran sebagai cadangan, yang tidak boleh digunakan untuk belanja awal tahun.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, baru-baru ini juga mengakui bahwa pemblokiran anggaran sebesar Rp 50,14 triliun untuk mendukung program bansos, terutama Bantuan Langsung Tunai (BLT) Mitigasi Risiko Pangan dan subsidi pupuk.
ADINDA JASMINE PRASETYO