TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyayangkan tak ada calon presiden (Capres) yang membahas kegagalan hilirisasi di dalam Debat Pilpres terakhir pada akhir pekan lalu.
Ia pun menantang debat melawan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk membahas polemik tersebut.
"Hilirisasi itu konsep yang sangat sesat itu. Saya bisa debat deh sama Luhut Pandjaitan. Terbuka gitu. Saya sama Tom Lembong nih berdua lawan Luhut Pandjaitan dengan Seto," kata Faisal dalam diskusi bersama Indef di Jakarta pada Senin, 5 Januari 2024.
Adapun Septian Hario Seto adalah Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan. Seto adalah salah satu anak buah Luhut yang ikut mengurus kebijakan hilirisasi. Sedangkan Tom Lembong adalah Co-Captain Tim Pemenangan Nasional Paslon nomor urut satu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang kerap mengkritik kebijakan tersebut.
Menurut Faisal, dengan diskusi atau debat yang mendalam, dia bisa bisa menunjukkan betapa sesatnya kebijakan hilirisasi di era Presiden Joko Widodo ini. Selama ini, Luhut dan Paslon nomor urut dua Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selalu menyerukan hilirisasi sebagai solusi industri Indonesia. "Wajar karena dia tidak mau mencederai apa yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi.
Nyatanya, Faisal menilai hilirisasi justru membawa masalah besar. Sebelumnya, ia mengatakan mayoritas keuntungan atas kebijakan ini bukan dirasakan oleh Indonesia melainkan mengalir ke Cina.
Dia mengungkapkan keuntungan yang dirasakan Indonesia atas regulasi tersebut tak kurang dari 10 persen. Sementara 90 persennya lari ke Cina. Kalau hilirisasi yang diterapkan sekadar mengolah bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya akan mendukung industrialisasi di Cina.
Pasalnya, Faisal menjelaskan 95 persen bijih nikel di Indonesia digunakan untuk perusahaan-perusahaan di Cina. Pada awalnya bijih nikel dibanderol dengan harga US$ 34 oleh pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Faisal Basri, di Shanghai bijih nikel dijual dengan harga US$ 80.
Karena itu, Faisal menyimpulkan Indonesia hanya memiliki kebijakan hilirisasi tetapi tak memiliki strategi industrialisasi. Padahal, menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri serta memperkuat struktur industri dan perekonomian.
Pilihan Editor: Luhut Sebut Gibran Ikut Jejak Jokowi: Menata Solo Luar Biasa