TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 menetapkan target pengurangan kemiskinan ekstrem 0 persen pada tahun 2024. Namun setahun sebelum tenggat, target 0 persen tersebut masih jauh dari kata tercapai.
Per Desember 2023, angka kemiskinan ekstrem Indonesia masih berada pada 1,12 persen. Angka ini memang menurun sekitar satu persen dibandingkan Maret 2022, yakni 2,04 persen namun masih jauh dari target 0 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, target tersebut agak sulit tercapai. Ia mengatakan, pemerintah jelas belum berhasil mencapai target nol persen tersebut.
"Menurut saya sih agak sulit tercapai," tuturnya ketika dihubungi Tempo pada Ahad, 28 Januari 2024.
Setidaknya ada tiga faktor yang menurut dia jadi penyebab. Pertama, banyaknya penduduk yang masuk ke dalam kelompok miskin ekstrem baru, terutama karena pelemahan ekonomi. "Banyak yang tadinya gak masuk, menjadi masuk. Baik karena kehilangan pekerjaan keluarganya, tidak layak dan sebagainya."
Misalnya ketika seseorang kehilangan pekerjaan, namun tidak mendapatkan bantuan sosial (Bansos). Walhasil, orang tua dan anggota keluarga lainnya masuk ke dalam kelompok miskin ekstrem. Baik karena keterbatasan pendidikan, kesehatan dan lainnya.
"Ini kan banyak yang PHK (pemutusan hubungan kerja) ya akhir-akhir tahun. Nah, kemudian keluarga mereka yang di kampung tidak dapat suplai daya beli lagi. Itu yang terjadi," ucap dia.
Faktor kedua menurut Tauhid adalah banyaknya kelompok miskin ekstrem yang belum menjadi sasaran Bansos. Contohnya seperti belum terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di bawah Kementerian Sosial. Hal ini, kata Ahmad turut menjadi problem. Sekalipun ada bantuan dari pemerintah, tidak dapat menjangkau dan sampai kepada mereka.
"DTKS itu kan tanggung jawabnya untuk updating ada di daerah, di provinsi ke kabupaten, ke kecamatan, ke desa. Pada waktu desa masing-masing ke tingkat bawah, itu yang kemudian menjadi sesi lemahnya. Proses pendataannya kurang cermat, kurang terstandar, kemudian juga beberapa variasi parameter yang digunakan seringkali berubah," ujar dia.
Ia menyebut, perlu dilakukan pendataan ulang oleh pihak yang independen, misalnya untuk daerah-daerah yang angka kemiskinan ekstremnya masih belum nol persen. Kemudian, juga perlu peningkatan pada verifikasi data agar kesesuaiannya lebih akurat.
Sementara faktor ketiga, menurut Ahmad adalah bantuan yang diberikan tidak cukup untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin ekstrem. "Jadi saya kurang yakin bahwa bisa sampai 0 persen. Sebenarnya, angka kemiskinan secara total kan menurunnya kita masih di angka 9 persen-an," katanya.
Sulitnya target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024 ini muncul ketika Presiden Joko Widodo sedang gencar menyebar bansos pangan ke sejumlah daerah di Indonesia. Seperti di Jawa Tengah, Pekalongan, Banyuwangi, Labuan Bajo, juga Serang. Pemberian bansos itu kemudian memicu kecurigaan terkait politisasi bansos untuk memenangkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presidne.
Ahmad menyatakan, pemberian bansos juga tak lantas langsung menurunkan angka kemiskinan ekstrem Indonesia. Pertama, karena belum lengkapnya pendataan oleh pemerintah. "Kemudian yang gak tepat sasaran gak bisa dikeluarkan. Itu yang mengurangi efektivitas."
Menurutnya, sekalipun bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah terbilang besar, namun bila lebih dari 50 persennya tidak tepat sasaran, maka tidak akan efektif menekan angka kemiskinan. Ia menilai, pemerintah perlu berbenah untuk memperbaiki sejumlah aspek fundamental. Mulai dari pendataan, mekanisme, hingga perbaikan pada kelembagaan yang menangani tanggung jawab tersebut. "Karena kan kelembagaannya banyak yang menangani," ucapnya.
Menurut Peneliti Nalar Institute Ani Nur Mujahidah Rasunnah, anggaran perlindungan sosial sudah banyak digelontorkan. Namun, masih saja target tersebut belum dapat digapai. "Banyak anggaran untuk sektor perlindungan sosial seperti Bansos misalnya, namun yang kita harapkan tidak terjadi. Misalnya target kemiskinan ekstrem yang tidak tercapai," kata dia pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Berdasarkan catatan Nalar Institute, terdapat 10 program Bansos yang dijalankan pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Mula dari Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, Program Sembako, Program Keluarga Harapan, Bantuan Subsidi Energi seperti BBM, Listrik, LPG 3 kilogram, Rehabilitasi Sosial Anak, Bantuan Sosial Lansia, Bantuan Sosial Penyandang Disabilitas, Bantuan Sosial Korban Bencana, Bantuan Subsidi Upah, hingga Rumah Sejahtera Terpadu. Namun, Ani menilai program-program Presiden tersebut belum menjawab target perlindungan sosial Indonesia.
ANNISA FEBIOLA