TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pendidikan Bukik Setiawan menilai, skema pinjaman online atau Pinjol bukanlah solusi untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pasalnya, ada mahasiswa yang tidak mampu justru harus membayar UKT lebih mahal daripada mahasiswa yang mampu.
"Kondisi yang tidak adil. Negara harusnya hadir dengan sejumlah skema yang beragam untuk membantu mahasiswa yang kesulitan mengalami UKT," ucapnya kepada Tempo pada Ahad, 28 Januari 2024.
Ia mengatakan, Pinjol memiliki risiko yang tinggi. Bukik prihatin karena kampus justru bertindak sebagai makelar yang menjadi penghubung antara mahasiswa dengan perusahaan Pinjol. Menurutnya, perlu ada penyelidikan untuk mengetahui ada apa di balik praktik tersebut.
"Kampus justru bersikap jadi makelar yang menghubungkan pinjol dengan mahasiswa. Ini tidak ubahnya kampus sedang menjual data mahasiswa. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui renten yang didapatkan kampus dari praktik ini. Setiap kerja sama terjadi ketika ada manfaat di kedua belah pihak," kata Bukik.
Ketua Yayasan Guru Belajar itu juga menekankan tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas pendidikan. Menurutnya, negara secara langsung maupun melalui kampus mestinya punya skema dukungan yang beragam bagi mahasiswa kurang mampu.
"Tidak hanya beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu di awal proses, tapi juga ada skema pinjaman bagi mahasiswa yang selama proses perkuliahan mengalami kesulitan keuangan," tutur Bukik.
Ia menambahkan, negara melalui pemerintah perlu berinisiatif agar mengurangi tekanan pada kampus untuk mencari uang dari mahasiswa. Sementara dari kampus juga perlu meningkatkan tata kelola keuangannya. "Di sisi kampus, tata kelola keuangan yang transparan, akuntabel dan tepat guna juga perlu ditingkatkan agar tidak terjadi inefisiensi anggaran kampus."
Selanjutnya: Sebelumnya, kebijakan kampus untuk bekerja sama dengan....