TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi atau Menkomarinves Luhut Binsar Pandjaitan mendapatkan tugas baru dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Adapun tugas terbaru yang akan diemban Luhut tersebut adalah terkait pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan pihaknya telah menyelesaikan draft struktur tim percepatan pembangunan PLTN, Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO). Tim NEPIO, kata dia, akan diketuai oleh Menkomarinves, dalam hal ini Luhut.
“Di situ ketuanya Menko Marinves (Luhut), ketua harian Menteri ESDM (Arifin Tasrif),” kata Djoko, di kantornya, Jakarta, Rabu, 17 Januari 2024.
Dikutip dari Koran Tempo edisi Senin, 3 Juli 2023, pengembangan nuklir sebagai sumber energi listrik di Indonesia kembali mencuat belakangan. Indikasinya, skema PLTN masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Beleid itu memuat amanat pembentukan majelis tenaga nuklir, penetapan BUMN penambang bahan baku nuklir, perizinan, hingga penyimpanan limbah.
Meski begitu, rencana pengembangan nuklir di Indonesia ini bukanlah kali pertama. Lantas seperti apa sejarah rencana pengembangan PLTN di Indonesia dan bagaimana penolakan sejumlah pihak?
Sejarah pengembangan PLTN di Indonesia
Berdasarkan catatan Tempo, sejak 1970-an, rencana pengembangan nuklir sudah dimulai dengan pembentukan Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Pada 1986, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) bersama beberapa negara dan International Atomic Agency melakukan studi kelayakan PLTN. Studi juga dilakukan pada 1991-1996 bersama perusahaan konsultan asal Jepang. Pelbagai studi itu menghasilkan rekomendasi: wilayah Jepara cocok dijadikan lokasi PLTN. Namun, pengkajian tak berlanjut akibat krisis ekonomi 1998.
Pada 2006, pemerintah pernah menerbitkan sejumlah aturan mengenai energi. Misalnya, Kebijakan Energi Nasional dan UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Dua aturan ini menyebut tenaga nuklir sebagai sumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik hingga 2025. Sejumlah lembaga lalu melakukan pengkajian lokasi lain untuk PLTN. Saat itu, kawasan Banten dan Bangka Belitung disebut cocok.
Wacana PLTN di Indonesia terkini
Setelah akhirnya nuklir masuk RUU EBET, tawaran pun datang dari sejumlah pihak. Terbaru, proyek PLTN ini rencananya akan digawangi oleh Seaborg Technologies, perusahaan rintisan asal Denmark. Teknologi reaktor untuk PLTN yang mereka tawarkan adalah molten salt reactor (MSR). Reaktor ini menggunakan garam cair sebagai material campuran bahan bakar sekaligus pendingin primernya.
Menilik ke belakang, teknologi ini sebenarnya tak baru-baru amat. Pada 1960-an, lembaga riset Amerika Serikat, Oak Ridge National Laboratory, pernah membuat riset dan purwarupa reaktor serupa. Bedanya, MSR versi terbaru dirancang berukuran lebIh kompak, jika dibanding reaktor nuklir konvensional. Sehingga PLTN ini bisa dibangun pada platform terapung, seperti tongkang.
PLTN rancangan Seaborg ini berkonsep modular serta plug and play alias bisa langsung dipasang dan dioperasikan. Sistemnya dapat dihubungkan dengan fasilitas industri yang membutuhkan sumber listrik sendiri atau dengan pembangkit existing, sehingga pasokan listrik tetap terjamin, misalnya, saat PLTU mulai dipensiunkan. Head of Business Development Seaborg Technologies, Nikolaj Hamman menyebutnya sebagai teknologi nuklir generasi keempat.
Untuk merealisasi konsep PLTN terapung itu, Seaborg membentuk konsorsium bersama dua perusahaan Korea Selatan, yakni Samsung Heavy Industries, sebagai pengembang teknologi perkapalan, serta Korea Hydro & Nuclear Power Co Ltd, selaku operator PLTN. Sampai saat ini, mereka masih mengembangkan purwarupa PLTN terapung, yang ditargetkan beroperasi pertama kali pada 2030 di Korea Selatan.
Nikolaj mengklaim beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia, berminat pada teknologi ini. Rencananya, pemanfaatan PLTN terapung di kawasan ASEAN dilakukan paling cepat dua tahun pasca-operasi uji coba di Korea Selatan. Sedangkan untuk pengembangan di Indonesia, Seaborg telah menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Gadjah Mada pada penghujung 2022.
Mereka juga bekerja sama dengan anak perusahaan PT PLN (Persero), PT Indonesia Power untuk uji kelayakan. Berdasarkan cuplikan dokumen memorandum of understanding (MoU) Seaborg-Indonesia Power, lingkup studi kelayakan tersebut akan mencakup penelitian pengembangan PLTN CMSR terapung di PLTU Suralaya, Cilegon, dan/atau pemanfaatan teknologi itu untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di wilayah Maluku.
Sekretaris PT Indonesia Power, Agung Siswanto, membenarkan perseroan tengah membahas MoU tersebut bersama Seaborg. Proses ini, kata Agung, telah berjalan sejak 2022 lalu, tapi sempat tersendat pada awal 2023. Barulah, pada April 2023, Seaborg kembali menginisiasi pembahasan MoU. Juni 2023 lalu, Agus mengatakan pihaknya tengah meminta dan berkonsultasi ke PLN mengenai rencana itu.
Sebelum Seaborg mendekati Indonesia Power, perusahaan pengembang PLTN MSR asal Singapura, ThorCon International Pte Ltd, telah memulai studi kelayakan serupa pada 2021. ThorCon menggandeng PLN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Perusahaan ini bahkan telah mendirikan kantor perwakilan, yakni PT ThorCon Power Indonesia, di Jakarta.
Skema yang sedang dikembangkan ThorCon adalah pembangkit listrik tenaga nuklir berbahan bakar torium secara tapak atau dibangun di daratan. Berdasarkan keterangan pers yang dikutip dari laman ThorCon, perusahaan bersama anak perusahaan PLN, PT Prima Layanan Nasional Enjiniring, memilih pulau tak berpenghuni yang berjarak 30 kilometer dari Pulau Bangka sebagai calon lokasi pembangkit itu.
Selanjutnya: Beragam penolakan pengembangan PLTN di Indonesia