Pajak tersebut diatur dalam revisi Undang-Undang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang terbit pada 2022. Pasal 55 UU HKPD mengatur ada 12 jenis kegiatan yang masuk kategori jasa kesenian dan hiburan. Dari dua belas jenis kategori tersebut, hanya jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa saja yang kena tarif batas bawah dan atas.
Sementara sebelas jenis lainnya yaitu tontonan film; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; dan panti pijat dan pijat refleksi, tidak kena tarif tinggi.
Secara umum, kata Lidya, ada penurunan tarif untuk sebelas jenis pajak hiburan di luar diskotek, dari 35 persen menjadi peling tinggi 10 persen. Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir. Ini, menurut Lidya, bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.
Selain itu, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian pajak terhadap jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah,” ucap dia.
Sebelumnya banyak pengusaha hiburan mengeluh dan memprotes rencana pengenaan pajak hiburan hingga 75 persen oleh sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya Inul Daratista, pemilik karaoke Inul Vizta, yang memprotes pengenaan tarif pajak tersebut. Menurut dia, tarif tersebut akan membunuh industri hiburan karena pajak itu mau tak mau akan dibebankan ke konsumen.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus juga menyebutkan para pengusaha spa di Bali langsung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 5 Januari 2024.
Dia menjelaskan materi yang diuji itu yakni terkait Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Menurut dia, pengusaha spa ingin meninjau kembali posisi industri spa yang bukan termasuk jasa hiburan melainkan kebugaran atau kesehatan (wellness).
Pilihan Editor: Menjelang Debat Cawapres, Ekonom: Food Estate Bukan Solusi Ketahanan Pangan