TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengungkap temuan adanya dugaan politisasi bantuan sosial atau bansos di masyarakat menjelang Pemilu 2024. Ia menyebut, politisasi bansos itu terjadi di tingkat bawah yaitu desa.
“Ombudsman juga dalam investigasi di lapangan menemukan sisi-sisi politis (dalam bansos). Apa yang dibicarakan dan diberitakan hari-hari ini (tentang politisasi bansos) bukan suatu yang mengada-ada. Politik itu sangat kuat di tingkat desa," ujar Sobirin dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan pada Kamis, 18 Januari 2024.
Robert mengungkap, ancaman itu dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari verifikator data bansos hingga kepala desa. Para pelaku memberikan ancaman karena kepentingannya tidak terakomodir atau perbedaan pilihan politik.
"Ada upaya di tingkat bawah verifikator hingga kepala desa mengancam tidak akan menyalurkan bantuan atau menonaktifkan kepersertaan bansos jika tidak mendukung ini dan itu. Yang kaya gini ini yang enggak benar," ucapnya.
Menurut Robert, upaya pengancaman dan pembatasan kepada masyarakat penerima bansos, tidak dapat dibenarkan. Apalagi, ancaman itu diberikan hanya karena perbedaan pilihan politik. "Jangan sampai karena hanya berbeda kepentingan politik, diancam, dibatasi atau akan dikeluarkan dari daftar penerima (bansos)," kata Robert.
Robert mendorong setiap pihak yang terlibat dalam penyaluran bansos untuk menghentikan upaya semacam itu. Ia menyebut, penyaluran bansos harus berjalan dalam kerangka yang benar.
Staf Khusus Menteri bidang Pengembangan SDM dan Program Kementerian Sosial (Kemensos) Suhadi Lili merespons temuan Ombudsman itu. Ia tak menampik adanya politisasi bansos yang dilakukan oknum tertentu. Menurutnya, peluang politisasi bansos ini tetap ada.
"Tentunya kami semua yang bekerja di kementerian ini kan ASN. ASN diwajibkan netral. Kalau ada politisasi seperti itu, ya kita enggak bekerja di ruang steril. Jadi oppurtunity itu ya ada dan kita berusaha meminimalisir," ujar Suhadi dalam kesempatan yang sama.
Meski demikian, ia memastikan politisasi itu tak ada kaitannya dengan penyaluran bansos. Penyaluran dilakukan secara non tunai, sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak tertentu. "Mereka juga tidak punya hak veto terhadap proses-proses pada KPM yang sudah ditetapkan sebagai penerima," katanya.
Ditanya apakah pihak-pihak tersebut dapat diberikan sanksi tegas, ia tak menjawab dengan jelas. Namun, ia memastikan bahwa tak akan ada aliran dana bansos ke pihak-pihak yang melakukan politisasi bansos itu. "Ya jadi sudah semuanya sistemnya lewat daerah. Enggak boleh ada pencegatan oleh pendamping, petugas desa, dan sebagainya," ucap Suhadi.
Sebelumnya, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono juga sempat mengkritik pemberian bansos menjelang Pemilu 2024. Ia menilai pemberian bansos justru berpotensi menimbulkan dampak negatif. Sebab, besarnya anggaran yang digelontorkan untuk bansos ini rentan disalahgunakan sebagai alat kepentingan elektoral.
Di sisi lain, menurutnya, program ini bisa menjadi arena perburuan rente ekonomi. Dia menegaskan pembagian bansos juga tak pernah bisa menjadi jalan keluar penanggulangan kemiskinan di Tanah Air.
Pasalnya, program bansos semestinya diikuti dengan program penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas di sektor pertanian, perdagangan, hingga industri manufaktur. Karena itu, dia berpendapat penambahan anggaran bansos justru menunjukkan kelemahan pemerintah dalam memberdayakan perekonomian rakyat.
YOHANES MAHARSO | RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan Editor: Ombudsman Temukan Sejumlah Maladministrasi pada Bansos PKH, Apa Saja?