TEMPO.CO, Jakarta - Penggabungan atau merger maskapai negara Pelita Air dan Citilink disebut menunggu Garuda Indonesia sehat. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita buka suara soal hal ini.
"Terkait dengan menunggu kesehatan keuangan Garuda membaik, itu karena pada awalnya niatnya adalah memerger tiga maskapai, yakni Garuda, Pelita, dan Citilink," ujar Ronny pada Tempo, Selasa, 7 November 2023. "Tujuannya adalah memperkuat liabllitas Garuda."
Dia menjelaskan, Garuda nantinya berada di bawah holding BUMN aviasi dan pariwisata InJourney. Dengan begitu, lanjut Ronny, posisi Pelita Air akan sama dengan Garuda Indonesia yakni di bawah InJourney.
"Jadi saya kira, setelah itu baru akan dimerger dengan Garuda. Baik antara Pelita dengan Garuda atau merger tiga maskapai sekaligus," kata Ronny.
Ronny melanjutkan, oleh sebab itu pemerintah menunggu keuangan Garuda Indonesia menjadi lebih baik dan stabil. Sebab, jika tidak menunggu kondisi keuangan Garuda membaik, maskapai ini bisa menang besar.
"Dua maskapai lainya kondisi keuangannya sehat walafiat, sementara Garuda masih sakit," lanjut Ronny.
Jadi jika merger dilakukan sekarang, kata dia, publik akan menganggapnya sebagai upaya penyelamatan lebih jauh maskapai Garuda Indonesia. Selain itu, dia menyangsikan keuangan emiten berkode GIAA ini bisa sehat pada akhir tahun ini.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menyatakan rencana merger Pelita Air dengan Citilink masih dalam tahap kajian. Saat ini ada dua opsi, yaitu Pelita Air masuk ke Citilink secara license atau lisensi atau Pelita Air bergabung dengan InJourney.
Keputusan tersebut menunggu kemampuan Garuda Indonesia untuk restrukturisasi. "Kita akan review hingga akhir tahun, apakah Garuda sudah sehat enggak di akhir tahun ini," ujar Tiko di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat pada Senin, 6 November 2023.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang merupakan induk dari PT Citilink Indonesia sempat hampir pailit pada tahun lalu. Tapi pada Juni 2022, proposal perdamaian Garuda Indonesia diterima kreditur lewat proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Kala itu, total utang Garuda Indonesia yang dicatat dan diakui Tim Pengurus PKPU mencapai Rp 142 triliun.
Usai proses restrukturisasi utang, Garuda mengklaim keuntungan sekitar Rp 58 triliun pada 2022 setelah pada tahun sebelumnya mencatat rugi Rp 59 triliun. Adapun pada paruh pertama tahun ini, emiten berkode GIAA ini membukukan kerugian sebesar Rp 1,16 triliun.
Lebih jauh, Tiko menuturkan cashflow atau arus kas Garuda Indonesia sudah mulai positif. Hanya saja ekuitasnya masih negatif.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan kuartal III 2023 yang belum diaudit, total ekuitas Garuda Indonesia tercatat negatif sebesar US$ 1,61 miliar atau sekitar Rp 24,95 triliun (asumsi kurs Rp 15.501 per dolar AS).
"Karena kalau negatif ekuitas, sulit untuk dapat leasing pesawat ke depan," jelas Tiko. "Oleh karena itu, kita rampingkan dulu."
AMELIA RAHIMA SARI | CAESAR AKBAR