TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) melakukan Kajian kredibilitas anggaran Subsidi Dana Kompensasi BBM JBT Solar (Dakom JBT-S) dan Pendataan partisipatif akses subsidi BBM untuk nelayan. Salah satu hasilnya, mereka menemukan ada beberapa faktor yang menyebabkan nelayan kecil atau tradisional sulit mengakses BBM bersubsidi.
Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan didukung oleh International Budget Partnership (IBP) Indonesia melakukan kajian kredibilitas anggaran Subsidi Dana Kompensasi BBM JBT Solar (Dakom JBT-S) dan Pendataan partisipatif akses subsidi BBM untuk nelayan.
Berdasarkan kajian KUSUKA, kurangnya stok bahan bakar minyak (BBM) terutama solar bersubsidi untuk sektor perikanan menyulitkan para nelayan kecil atau nelayan tradisional. Para nelayan tradisional yang pada umumnya tinggal di daerah yang terpencil kesusahan mengakses BBM subsidi karena keberadaan stasiun pengisian bahan bakar umumnya berada di tengah kota yang jauh dari pemukiman nelayan.
Ketua umum KNTI Dani Setiawan mengatakan pada tahun 2021, hasil kajian Koalisi menunjukkan 82 persen nelayan tidak dapat mengakses BBM subsidi. Angka tersebut turun menjadi 63 persen pada 2023. Artinya, memang sudah ada perbaikan namun masih belum cukup signifikan.
Kajian Koalisi juga menemukan kelemahan dalam tata kelola subsidi BBM untuk sektor perikanan. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya deviasi anggaran Dakom subsidi energi secara agregat pada 2020 yang menunjukan overspending (pengeluaran yang melebihi perencanaan) sebanyak 607 persen.
“Kondisi ini disebabkan akumulasi utang dana kompensasi akibat keterlambatan pembayaran serta tidak dilakukannya pemutakhiran besaran Harga Jual Eceran (HJE) sejak 2016,” kata Wulandari, peneliti koalisi KUSUKA dalam keterangan tertulis pada Selasa, 31 Oktober 2023.
Ia mengatakan nomenklatur subsidi BBM itu diatur dalam Belanja Subsidi BA 999.07, sedangkan nomenklatur dana kompensasi BBM diatur dalam Belanja Lain-lain BA 999.08. Dua jenis belanja ini memiliki definisi yang berbeda dan mekanisme pembayaran yang berbeda.
“Belanja subsidi BBM dapat dibayarkan secara rutin, namun dana kompensasi BBM pembayarannya disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan negara sehingga penuh ketidakpastian,” kata dia.
Hal ini berimplikasi pada keterlambatan pembayaran dana kompensasi kepada badan usaha.Karena itu pemerintah seharusnya bisa merencanakan hal ini secara matang tiap tahun supaya persoalan tersebut bisa dihindari.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Alamsyah Saragih selaku Pengamat Kebijakan Publik mengatakan kebijakan subsidi BBM ini mengandung maladministrasi yang luar biasa. Menurut Alamsyah, salah satu parameter dari maladministrasi tersebut adalah adanya potential benefit loss yang dialami nelayan kecil sebesar Rp 2,8 triliun (rerata di periode tahun 2016-2020) sebagai dampak dari implementasi kebijakan subsidi dan Dakom JBT-S.
Hal ini membuktikan bahwa kebijakan subsidi BBM dan Dakom JBT-S tidak berdampak langsung kepada nelayan kecil. Sehingga, kredibilitas dari kebijakan fiskal ini patut dipertanyakan.
Kondisi tersebut terjadi karena nelayan kecil mengalami hambatan akses dalam memperoleh subsidi BBM yang mengakibatkan realisasi dari kuota subsidi BBM solar di sektor perikanan rendah. Meski pemerintah menyediakan kuota BBM solar dengan rerata 1,9 juta kilo liter di sektor perikanan (2016-2020), namun yang terserap oleh nelayan hanya 498,737 kilo liter. Hal tersebut terjadi karena akar persoalan hambatan akses nelayan untuk mendapatkan subsidi BBM belum terselesaikan.
Sementara itu, Riyanto dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia mengemukakan bahwa subsidi energi adalah kewajiban pemerintah sehingga harus didesain tepat sasaran. Persoalannya, terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya.
“Jika harganya sudah mahal dan langka, tapi kuotanya tidak terserap banyak, jadi kemana alokasi dana Subsidi BBM itu? Ketika solar Subsidi dijual oleh pengecer, maka siapa yang mengecer ini? Apakah ini sebuah kebocoran dari kebijakan subsidi?,” kata Riyanto. "Pada dasarnya Dana kompensasi adalah subsidi sehingga secara akumulatif pemerintah memberikan subsidi yang cukup besar namun tidak efektif.”
Dari permasalahan tersebut maka Koalisi KUSUKA memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, mendorong pemerintah mendirikan atau memberdayakan koperasi di sekitar pesisir sebagai lembaga sub penyalur BBM sehingga nelayan kecil atau tradisional dapat mengakses BBM bersubsidi dengan mudah. Hal ini penting karena selama ini nelayan membeli BBM kepada pengecer yang harganya jauh lebih mahal karena masih langkanya SPBU-N baru di wilayah pesisir.
Kedua, mendorong Kementerian Keuangan untuk membuat instrumen kebijakan subsidi yang lebih efektif dan tepat sasaran. Belajar dari program BLT Solar dimana skema distribusi menggunakan cash transfer ke penerima manfaat atau nelayan, hal ini memberikan manfaat secara langsung ke target penerima dibandingkan model penyaluran subsidi BBM.
Ketiga, mendorong BPH Migas, PT Pertamina dan KKP untuk melakukan pemutakhiran dan penyempurnaan data nelayan. Hal ini sebagai dasar penentuan kuota BBM subsidi JBT-S. Selain itu, BPH Migas dan PT Pertamina perlu secara aktif berkoordinasi melakukan perhitungan yang matang dalam perencanaan alokasi Dakom JBT-S setiap tahun dengan memperhitungkan kapasitas fiskal APBN, fluktuasi harga minyak dunia, dan faktor-faktor lainnya sehingga tidak ada overspending (pengeluaran yang berlebihan) maupun underspending (pengeluaran yang lebih kecil dari pada yang ditetapkan).
NINDA DWI RAMADHANI
Pilihan Editor: Prabowo-Gibran Targetkan Kemiskinan di Bawah 6 Persen pada 2029, Ekonom: Terlalu Mudah Diraih