"Saya lebih pilih Pertamina secara mandiri, membangun (kilang) sendiri. Saya yakin bisa," katanya dihubungi.
Fahmy juga sangat menyayangkan jika pembangunan kilang Tuban harus terhambat karena kondisi Rusia yang tengah mendapat sanksi atas perang di Ukraina. Sebab, Rosneft atau Rossiyskaya neft Oil Company bersama PT Pertamina (Persero) telah membentuk perusahaan patungan PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP) untuk pendirian Kilang Tuban pada November 2017 lalu.
Selain itu, Fahmy menilai akan sulit pula jika Pertamina harus mencari mitra baru, lantaran tren konsumsi bahan bakar minyak (BBM) fosil kini semakin menurun seiring dengan kesadaran akan penggunaan energi yang lebih bersih. Ia menyebut investasi kilang kini sudah tidak menarik di mata investor.
"Tapi ada kebutuhan bagi Pertamina karena ketergantungan impor BBM itu besar. Kalau kita memiliki fasilitas kilang yang memadai, barangkali dapat mengurangi ketergantungan (BBM)," ucap Fahmy.
Pembangunan kilang Tuban, menurut dia, juga tidak bisa dibantu oleh dana pemerintah atau APBN karena tidak layak dan pendanaan pemerintah akan sangat membebani negara. Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar Pertamina bisa mencari pendanaan secara eksternal lewat penerbitan surat utang atau bond.
Nilai investasi proyek kilang Tuban mencapai US$ 3,8 miliar atau sekitar Rp 54,2 triliun. Kilang dengan kapasitas pengolahan 300.000 barel per hari itu diperkirakan dapat menghasilkan 30 juta liter BBM per hari untuk jenis gasoline dan diesel.
RIRI RAHAYU | ANTARA
Pilihan Editor: Profil Pontjo Sutowo yang Lawan Pemerintah dalam Sengketa Hotel Sultan