TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) merilis laporan bertajuk ‘Perusahaan-Perusahaan Multinasional dan Hilirisasi Nikel di Indonesia’ pada Senin, 25 September 2023. Dalam laporan ini, China disebutkan sebagai penentu di balik kesuksesan hilirisasi nikel di Indonesia.
Peneliti AEER, Arianto Sangadji mengatakan bahwa program ‘Belt and Road Initiative’ dari pemerintah China telah mempercepat hilirisasi nikel di Indonesia.
“Termasuk dukungan pembiayaan berbagai proyek pengolahan nikel oleh bank-bank komersial milik pemerintah China,” terang Arianto dalam Publikasi Kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat di Jakarta pada Senin, 25 September 2023.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menyoroti hal ini. Menurutnya, pemerintah saat ini terlalu bergantung pada investasi asing sehingga keuntungan yang dihasilkan tidak dinikmati masyarakat Indonesia, melainkan oleh pihak luar.
“Sejak Indonesia merdeka, Indonesia tidak pernah bergantung pada investasi asing. Rata-rata investasi Indonesia itu 15 persen dari total investasi. Herannya sekarang semua serba asing,” kata Faisal.
Terkait ketergantungan pada investasi asing, ia juga menyoroti Presiden Joko Widodo yang rela mendatangi Elon Musk agar mau berinvestasi di Indonesia. Faisal beranggapan bahwa upaya tersebut seperti menjual harkat dan martabat masyarakat Indonesia demi investasi asing.
“Kita dijual murah, sampai harkat martabat dikorbankan,” tegas Faisal.
Meskipun demikian, ia menolak jika dikatakan anti asing. Jika pihak asing memiliki keahlian, maka seharusnya mereka menaati peraturan yang berlaku di Indonesia. Permasalahannya, saat ini banyak tenaga asing yang tidak mematuhi peraturan di Indonesia.
“Tapi kalau dia punya keahlian, ada aturannya pakai visa kerja. Sebagian besar pekerja China itu pakai visa turis,” kata Faisal.
Faisal beranggapan bahwa hukum Indonesia tidak ditegakkan bagi pekerja asing di Morowali. Banyak tenaga asing yang menggunakan visa turis, padahal seharusnya menggunakan visa kerja. Alasannya, visa kerja memang sulit didapatkan.
“Jadi ibaratnya Morowali itu provinsi ke sekiannya China. Hukum ketenagakerjaan tidak berlaku di sana,” terang Faisal.
Ia juga menyoroti ketimpangan upah yang didapatkan oleh pekerja Indonesia dan asing. Menurutnya, upah yang diterima asing jauh lebih besar daripada pekerja Indonesia.
“Faktanya, buruh China gajinya 17 juta sampai 54 juta, kalau buruh kita sesuai UMP. Harganya dibikin murah,” tambah Faisal.
Pemerintah perlu menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia bagi pihak asing yang bekerja di industri nikel. Pemerintah juga didorong untuk memastikan keuntungan dari industri ini dapat dinikmati oleh masyarakat lokal, dan bukan pihak asing.
Pilihan Editor: Cadangan Nikel Indonesia Akan Habis dalam 15 Tahun, Peneliti TII: Kekhawatiran yang Rasional