Belum lagi berapa potensi kehilangan pendapatan buruh tani dan matun di tiga desa dan kelurahan itu. "Katakan setiap hektare ada dua buruh tani yang berpenghasilan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per Hari. Berapa potensi pendapatan itu yang hilang," ujar Lutfi menambahkan.
Hal senada diungkapkan Derajat, ketua kelompok tani di Desa Boreng. "Dulu saat musim kemarau pun, kebutuhan air untuk sawah kami masih cukup dan terpenuhi dengan cara mengatur dan membagi waktunya di antara sesama petani," ujarnya.
Namun, karena masalah infrastruktur saluran irigasi tidak kunjung terselesaikan, maka petani di tiga desa dan kelurahan itu tidak berani menanam padi. "Pemerintah lambat dalam melakukan penanganan dam Gambiran secara tepat," ujar Derajat kepada TEMPO, Selasa, 19 September 2023.
Informasi yang dihimpun TEMPO menyebutkan pemerintah dikabarkan sudah beberapa kali melakukan penanganan seperti pembangunan rumah pompa juga saluran perpipaan. Namun upaya yang dilakukan itu belum bisa dikatakan membawa manfaat secara luas untuk petani setempat.
Kepala Pelaksana Tugas Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sumber Daya Air (DPUTR SDA) Kabupaten Lumajang belum bisa dikonfirmasi ihwal tudingan kelambatan penanganan dam Boreng pasca jebol yang mengakibatkan kekeringan di tiga desa dan kelurahan itu.
Pesan WhatsApp yang dikirim TEMPO belum dibalas hingga berita ini ditulis. TEMPO juga berusaha menelepon tetapi belum direspon.
Namun sebelumnya, TEMPO telah mendapatkan penjelasan dari Bupati Lumajang, Thoriqul Haq. Cak Thoriq, begitu dia disapa, mengatakan memerlukan dam permanen untuk mengatasi persoalan kekeringan di tiga desa dan kelurahan itu. Ia mengatakan dalam perhitungan anggaran, pembangunan DAM itu memerlukan anggaran Rp 10 Miliar.
"(Sudah) Mengajukan ke pemerintah provinsi dan APBN, tetapi belum ada realisasi," kata Thoriq kepada TEMPO, Sabtu malam, 16 September 1023 melalui pesan WhatsApp.
Pilihan Editor: Kekeringan Lumajang, Periode Habis Cak Doktor Bupati dan Ironi Irigasi