TEMPO.CO, Jakarta - Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat sebesar 53,9 pada bulan Agustus 2023. Angka itu tersebut tercatat sebagai rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) menerangkan bahwa, kenaikan PMI mengindikasikan sentimen positif menggeliatnya sektor manufaktur nasional. Peningkatan PMI pada kuartal ini banyak di sumbangsih oleh kenaikan pada komponen volume produksi 55.16, volume total pesanan 54.37, dan volume persediaan barang jadi 53.10.
"Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan demand domestik dan global yang kemudian mendorong industri manufaktur untuk mulai menumpuk persediaan bahan baku dan juga barang produksi," kata peneliti LPEM FEB UI, Christina Ruth Elisabeth T, dalam rilisnya di Trade and Industry Brief, LPEM FEB UI Agustus 2023 dikutip Senin, 18 September 2023.
Meskipun nilai PMI menunjukan peningkatan, Christina menerangkan ada dua komponen PMI yang masih bergerak lamban dan menunjukan pada posisi kontraksi (kurang 50). Dua komponen itu adalah Penerimaan barang pesanan input 49,21 dan Total jumlah karyawan 48,02 .
LPEM FEB UI menerangkan bahwa dua komponen itu disebabkan sistem logistik global yang belum sepenuhnya pulih, kecenderungan negara-negara penghasil bahan baku untuk menahan ekspor karena mengantisipasi gangguan iklim ekstrem, serta indikasi sistem logistik nasional yang belum efisien.
"Pemanfaatan kerja sama perdagangan internasional untuk kepastian akses bahan baku serta kepastian kelanjutan pembangunan sistem logistik nasional baik dalam aspek hard maupun soft infrastructure perlu menjadi perhatian, dan pesannya harus dapat ditangkap dengan jelas oleh dunia usaha," ujar Christina
Selain itu, Christina juga mengatakan adanya kehati-hatian di dunia usaha dalam merekrut pekerja untuk membuat komitmen jangka panjang. Menurut peneliti itu, perlu adanya sikap dan komunikasi publik yang baik terkait kebijakan ketenagakerjaan serta keberlanjutan pembangunan pasca pemilu.
LPEM FEB UI menerangkan data PMI juga menunjukkan adanya kecepatan ekspansi atau pertumbuhan antar subsektor. Pada Kuartal II lalu, subsektor dengan PMI tertinggi yakni industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki. Meskipun demikian, persaingan yang ketat dengan produk impor, serta sulitnya bahan baku, dan akses pasar ekspor berpotensi menurunkan ekspansi industri ini pada kuartal III.
Industri mesin dan perlengkapan juga menunjukkan ekspansi yang besar pada kuartal II lalu. Permintaan akan produk industri ini memang umumnya adalah derived demand dari industri lain yang tumbuh dan membutuhkan tambahan barang modal.
Dukungan yang dibutuhkan untuk industri ini utamanya adalah kemudahan pengadaan komponen dari pasar global. Pada kuartal III, industri ini diperkirakan akan terus mengalami ekspansi.
Selanjutnya, industri barang galian bukan logam, yang produk utamanya adalah keramik, juga mencatat optimisme pada kuartal II lalu. Tantangan industri ini adalah ketergantungannya pada perkembangan industri properti, tingginya biaya angkut, dan ancaman produk impor murah dari Cina dan India yang dapat menekan ekspansi industri ini pada kuartal III.
"Pembatasan pelabuhan impor dan perbaikan sistem logistik nasional dapat dikedepankan untuk terus mendukung industri ini," ujar Christina.
Industri kimia, farmasi dan obat tradisional juga mengalami ekspansi yang cukup baik pada kuartal II, tetapi diperkirakan melambat pada kuartal III. Adanya faktor perubahan perilaku masyarakat setelah lepasnya ancaman pandemi akan terus menurunkan tingkat ekspansi Industri farmasi.
Meskipun demikian, kembalinya perilaku yang tidak sehat menunukan adanya harapan naik dari industri tersebut, juga terlihat dari perkiraan meningkatnya ekspansi industri pengolahan tembakau pada kuartal III.
Pada industri logam dasar, diperkirakan akan terjadi peningkatan optimisme pada kuartal III. Christina menerangkan, indsutri ini sebagai salah satu eksportir utama produk logam dasar di dunia, membaiknya kondisi ekonomi global menjadi momentum untuk meningkatkan ekspor industri ini. "Meskipun demikian, pemanfaatan pasar ekspor tidak seharusnya mengganggu upaya hilirisasi," tuturnya.
AKHMAD RIYADH
Pilihan Editor: LPEM UI Nilai UU Anti Deforestasi Jadi Cara Eropa Mengendalikan Harga Sawit