TEMPO.CO, Cirebon - Sekali pun tidak lagi memasok beras ke pasar tradisional, penggilingan beras di Kabupaten Cirebon tetap berupaya untuk bertahan. Seperti dilakukan Icih, pengelola penggilingan padi Sri Rejeki, Desa Wangkelang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon.
“Sudah dua bulan kami tidak lagi memasok beras ke pasar,” tutur Icih, Selasa, 5 September 2023. Padahal biasanya, lanjut Icih, mereka setiap hari menggiling hingga 2 ton gabah yang berasnya kemudian dipasok ke Pasar Pagi, Kota Cirebon.
Namun seiring kenaikan harga gabah, saat ini justru penggilingan yang berlomba untuk mencari gabah langsung ke petani. “Harganya sekarang sudah tinggi,” tutur Icih.
Saat ini harga gabah sudah mencapai Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu per kwintal. Itu pun mereka harus berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Kini Icih mengaku mencoba bertahan untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan. Di antaranya dengan melakukan penjualan beras secara eceran. Beras dibeli dari penggilingan lain lalu dijual eceran untuk masyarakat di sekitar mereka.
Harga beras eceran yang mereka jual yaitu Rp 13 ribu hingga Rp 14 ribu per kilogram tergantung kualitas beras. “Kami juga masih menerima penggilingan beras dari petani yang masih memiliki gabah,” tutur Icih.
Dengan ongkos hanya Rp 500 ribu dan minimal penggilingan gabah sebanyak 20 kilogram, pemilik gabah sudah bisa melakukan penggilingan di tempat mereka. Selain ongkos, penggilingan juga mendapatkan dedak dan menir atau beras yang sudah patah-patah. Di tengah tingginya harga beras saat ini harga beras patahan juga tinggi, bahkan bisa mencapai 60 persen dari harga beras utuh.
Terkadang Icih mengaku bisa juga membeli gabah yang harganya sudah tinggi. “Kalau kebagian ya bisa beli,” tuturnya. Namun gabah itu baru akan digiling saat mereka tidak mendapatkan beras dari penggilingan lain untuk dijual eceran. Ivansyah
Pilihan Editor: Prabowo Bakal Bikin Lumbung Pangan di Rawa-rawa, Pengamat: Gagasan Lama dan Terbukti Gagal