Puput menjelaskan budidaya semua jamur tersebut menggunakan media tanam yang sama yang bernama baglog. Di Jamur Borobudur, ada tempat khusus satu bangunan yang disebut Kumbung atau kandang jamur, tempat tumbuhnya jamur di media tanamnya.
Menurut dia, tempat itu dibuat khusus karena jamur tumbuh ditempat yang lembab. Itu menjadi alasan Kumbung itu dibuat tertutup agar kadar airnya tetap berada di dalam ruangan.
Adapun baglog dibuat dari serbuk kayu yang dicampur dedak atau bekatul yang ditambahkan air, lalu dipadatkan. Setelah itu baglog itu dilakukan sterilisasi atau dikukus selama 10 jam, untuk mematikan bakteri dan senyawa, agar jamur liar tidak tumbuh.
“Setelah sterilisasi baru kita tanami benih jamurnya. Kenapa ini medianya sama tapi jamurnya beda, karena benihnya atau istilahnya tuh spora jamur juga berbeda,” tutur Puput.
Untuk baglog, Puput melanjutkan, khusus jamur tiram dan kuping bisa dipakai 5-6 kali panen. Sementara jamur lingzhi hanya bisa sekali, karena membutuhkan waktu 6 bulan. Setelah itu bekas dari baglog yang sudah tidak terpakai biasanya dimanfaatkan oleh petani cacing untuk budidaya cacing.
“Sehingga, bagi kami baglog jamur itu adalah limbah, tapi untuk petani cacing sebagai bahan baku,” kata Puput.
Usaha budidaya jamur Puput sudah berlangsung sejak 2013. Di mana saat itu hanya menjadi tempat khusus budidaya. Namun, seiring waktu, bisnisnya mengalami perkembangan, bahkan sampai menjadi tempat kunjungan wisata di kawasan Candi Borobudur.
Pilihan Editor: Cerita Pemilik Jamur Borobudur: Dibangun 2013, Kini Omzetnya Rp 140 Juta per Bulan