TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia saat ini tengah menghadapi fenomena El Nino. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa El Nino kali ini menyebabkan dampak kekeringan yang sangat parah akibat berkurangnya curah hujan. Beberapa wilayah di Indonesia pun diprediksi mengalami musim kemarau yang lebih panjang daripada biasanya.
Melansir distanpangan.baliprov.go.id, badai El Nino dapat mempengaruhi penyebaran hama tanaman. Serangan hama ini dapat mengakibatkan turunya produksi tanaman pertanian di Indonesia. Pasokan yang menurun akan berdampak terhadap kenaikan harga produk pertanian, sehingga turut berefek negatif pada ketersediaan pangan dan stabilitas ekonomi.
Selain itu, perubahan cuaca buntut dari El Nino berpotensi menyebabkan inflasi bagi indonesia. Hal ini disebabkan El Nino mendorong suhu tinggi di Indonesia sehingga menurunkan produksi pertanian dan pertambangan.
Bahkan dampak fenomena El Nino sudah terasa di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Sejak Juni lalu, Papua Tengah dilanda kemarau yang menyebabkan kekeringan hingga gagal panen. Akibatnya, sebanyak enam warga dari Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume meninggal dunia karena kelaparan. Lantas, kapan badai El Nino berakhir?
BMKG Prediksi Puncak El Nino
Berdasarkan pemantauan BMKG, pada 10 hari terakhir bulan Juli 2023, indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan angka +1.14 yang mengindikasikan bahwa intensitas El Nino terus meningkat sejak awal bulan Juli. Dari hasil pemantauan hingga pertengahan Juli 2023, sebanyak 63 persen zona musim di Indonesia telah memasuki musim kemarau.