TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita menjelaskan bahwa pelabuhan di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan pelabuhan yang ada di Singapura. Alasannya, karena pelabuhan di Negeri Singa itu merupakan hub internasional.
“Yang melayani 10 kali lebih banyak volume daripada semua pelabuhan di Indonesia digabung,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat, 21 Juli 2023.
Zaldy menilai mengelola pelabuhan di Singapura jauh lebih sulit daripada Indonesia. “Sama seperti Timnas Indonesia bertanding dengan Timnas Argentina, memang jauh kelasnya,” tutur Zaldy.
Sekalipun pelabuhan Indonesia masuk dalam 20 terbaik dunia, tapi tidak akan akan berpengaruh banyak terhadap Logistics Performance Index (LPI) Indonesia 2023 yang menurun 17 peringkat ke posisi 63 dari posisi 46 (pada 2018). Pengukuran LPI itu dilakukan Bank Dunia berdasarkan enam dimensi, yaitu customs, infrastructure, international shipments, logistics competence and quality, timelines, dan tracking & tracing.
“Mungkin yang salah karena tidak bisa mengubah persepsi dari pengguna jasa pelabuhan di Indonesia baik untuk ekspor dan impor,” ucap dia.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta para pengamat logistik tidak membandingkan pelabuhan di Indonesia dengan Singapura atau pun Malaysia. Luhut menilai hal itu tidak adil.
“Karena pelabuhan kita jumlahnya ribuan, jadi jangan dibandingkan dengan yang jumlahnya 2, 3, 5, 10 pelabuhan dengan ribuan. Tentu tidak adil,” ujar dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Pada Selasa, 18 Juli 2023.
Luhut menuturkan ada 34 pelabuhan besar yang sudah berjalan cukup baik. Namun, jika melihat pelabuhan-pelabuhan kecil jumlahnya sangat banyak. “Tempat penyelundupan, seribu sekian pelabuhan,” ucap dia.
Saat ini pemerintah, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi membangun sistem di pelabuhan yang berdampak pada penghematan cost logistic mulai dari 23 persenan, lalu sekarang 16 persen. Bahkan pemerintah menargetkan agar cost logistic bisa turun menjadi 16 persen.
“Tapi kami mau turun ke 11 persen. Karena di negara lain angkanya single digit jadi kita bertahap ini kan baru 3-4 tahun kita kerjakan,” ucap Luhut.
Menurut dia, pelabuhan tikus itu merupakan masalah bersama, bukan hanya satu lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. “Saya juga pusing lihat itu. Karena kita sudah benahi pelabuhan besar, masih ada pelabuhan tikus,” ujar dia.
Luhut mencontohkan kasus penyelundupan palm oil atau kelapa sawit itu masih dilakukan. Namun sekarang dengan pengalaman yang sudah ada, ini sudah mulai dibatasi dan sangat berkurang signifikan.
Kegiatan itu, menurut Luhut, juga didukung oleh KPK. “Jadi kepemimpinan daripada Firli (Ketua KPK Firli Bahuri) jangan hanya melihat sedikit-sedikit, musti lihat overall. Kalau ada yang kurang ya di surga saja. Di dunia ini pasti ada yang kurang,” tutur Luhut.
Pilihan Editor: Alasan Luhut Sebut OTT KPK Kampungan