TEMPO.CO, Jakarta - Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN berpeluang untuk ditingkatkan dengan bersinergi dengan asuransi kesehatan tambahan atau AKT. Asuransi kesehatan tambahan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional menunjukkan bagaimana mekanisme pasar secara terkendali bersinergi dengan peran Negara dalam mewujudkan kesejahteraan.
“Bila dioptimalkan, maka sinergi ini akan hadir sebagai masa depan politik ekonomi kesehatan di Indonesia,” ujar Muh. Arief Rosyid Hasan dalam sidang terbuka promosi doktor yang digelar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia pada Senin, 17 Juli 2023.
JKN kini menjadi skema asuransi kesehatan sosial dengan peserta terbanyak di dunia. Sekitar 90,34 persen dari populasi atau 248,77 juta penduduk Indonesia menjadi peserta program JKN. Namun, ada 25 juta rakyat Indonesia yang kesehatannya belum terjamin dengan JKN.
Selain itu, masih terdapat pula pelayanan kesehatan yang tidak dijamin dengan JKN. Hal ini membuat rakyat Indonesia masih harus menggunakan asuransi kesehatan tambahan dengan rata-rata pengeluaran out of pocket (OOP) mencapai 2,7 juta Rupiah. Persentase OOP di Indonesia itu masih melebihi batas rekomendasi WHO, yaitu tidak melebihi 20 persen dari total belanja kesehatan.
“Jumlah kepesertaan JKN merupakan hal yang penting, tapi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kepesertaan tersebut aktif sehingga prinsip gotong-royong dalam Pancasila bisa dilaksanakan dengan baik,” kata Arief.
Pembiayaan mandiri dan adanya pelayanan yang tidak dijamin oleh program JKN, memunculkan demand atau permintaan terhadap asuransi kesehatan tambahan. Penelitian Arief membuktikan, demand untuk naik kelas kamar rawat inap meningkat dengan rata-rata kenaikan 509 persen setiap tahun pada 2019 hingga 2022. Kenaikan kelas rawat ini salah satu dari manfaat yang tidak dijamin oleh Program JKN yang menjadi peluang produk dari asuransi kesehatan tambahan.
Arief melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapat rumusan kebijakan asuransi kesehatan tambahan bagi peserta program JKN. Hasil penelitian yang menggunakan mix method kuantitatif dan kualitatif ini menunjukkan bahwa responden yang menggunakan asuransi kesehatan tambahan memiliki karakteristik berpendidikan tinggi, dalam usia produktif, masyarakat urban, serta pengeluaran selain makan melebihi rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP).
Selain itu asuransi kesehatan tambahan masih menjadi penjamin asuransi terbanyak yang digunakan untuk pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Sedangkan, kombinasi antara JKN dan asuransi kesehatan tambahan masih menjadi opsi asuransi dengan pengguna paling sedikit.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Arief menyarankan kepada pembuat kebijakan untuk melakukan peningkatan dan penguatan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk mendorong upaya kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan melalui penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK). Selain itu harus diciptakan ekosistem yang kondusif terhadap pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia. Arief juga menyarankan adanya analisis kebijakan serta kajian lebih dalam terkait pemanfaatan AKT dan alasan masih adanya out of pocket di masyarakat Indonesia.
Pilihan Editor: BKF Sebut Tingkat Kemiskinan yang Turun jadi 9,36 Persen Sejalan dengan Fokus Pemerintah, Ini Target Jokowi