Lalu bagaimana di Indonesia?
Direktur Studi China-Indonesia Celios M Zulfikar Rakhmat mengungkapkan bahwa hingga saat ini Indonesia masih belum terjerat jebakan utang (debt trap) dari Cina. Namun, kata dia, sudah ada tanda-tanda bahwa kemungkinan bisa masuk ke jebakan itu jika pemerintah tidak berhati-hati.
“Pemerintah perlu mewaspadai lantaran ada potensi Indonesia mengarah ke situ (jebakan utang),” ujar dia.
Parameternya Indonesia belum masuk jebakan utang Negeri Tirai Bambu itu, kata dia, karena jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Sri Lanka dan Zimbabwe, kemampuan ekonomi Indonesia masih bisa. Misalnya, kalau melihat dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebenarnya Indonesia masih mampu untuk bayar.
“Cuma ya harus utang lagi gitu. Jadi utang untuk nutup utang. Tapi kalau PT KAI suruh nanggung semua ya jelas enggak akan mampu. Jadi sebenarnya kita masih aman. Karena ekonomi kita masih cukup kuat,” kata Zulfikar.
Adapun tandanya, Zulfikar memperkirakan jumlah utang Indonesia ke China berpotensi meningkat seiring dengan masuknya proyek-proyek belt and road initiative yang sudah ditandatangani. Pada 2022 saja, nilai utang Indonesia sudah mencapai US$ 20,225 miliar setara dengan Rp 315,1 triliun.
Selain itu, juga muncul kekhawatiran risiko gagal bayar yang bisa menyebabkan kerugian besar di masa depan. Kekhawatiran itu, menurut Zulfikar, bukan tanpa dasar. Karena dari negara-negara yang terlibat dalam proyek belt and road iniative, beberapa telah dinyatakan gagal bayar, seperti Sri Lanka.
“Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko terjerat utang. Di antaranya China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi,” kata Zulfikar.
Pilihan Editor: Terkini: Luhut Soal Rencana TikTok Investasi di Indonesia, Antam Bakal Tebar Dividen Rp 1,91 Triliun