TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Yeta Purnama membeberkan negara-negara yang terkena jebakan utang China akibat adanya proyek belt and road initiative atau jalur sutra. Menurut dia, negara tersebut sebenarnya sudah tidak asing karena kerap dibahas ketika membicarakan jebakan utang.
Menurut Yeta, jebakan utang China itu sebenarnya terjadi bukan tanpa dasar, dan memang sudah beberapa kali terjadi di negara berkembang. “Yang kondisinya sedikit mirip dengan Indonesia meskipun tidak sama persis,” ujar dia di Hotel Ashley Wakhid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Kamis, 15 Juni 2023.
Negara pertama adalah Zimbabwe. Yeta menuturkan, negara tersebut memiliki utang ke China untuk membeli persenjataan karena stabilitas yang terjadi di domestiknya. Di mana apemberontak di perbatasan Rwanda dan Uganda.
Sehingga karena memang posisi ekonominya yang lemah, Zimbabwe terlilit utang dan tidak mampu untuk membayarnya. Konsekuensinya negara di Benua Afrika itu harus menandatangi kerja sama untuk menerima mata uang China yaitu Yuan sebagai transaksi lokal.
“Kalau dillihat ya ini salah satu strategi China untuk memperluas penggunaan Yuan di beberapa negara,” kata Yeta.
Kedua ada Sri Lanka, negara yang paling sering dibahas. Negara ini pada 2010 mendapatkan pinjaman US$ 1,5 miliar untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota. Namun, pada 2017 akhirnya kepemilkan Pelabuhan Hambantota tersebut jatuh ke tangan China.
“Karena Sri Lanka tidak mampu untuk membayar dan juga persyaratan dari skema belt and road initiative itu cukup berat untuk dipenuh Sri Lanka,” tutur dia.
Selanjutnya ketiga, ada Uganda. Pada 2015 negara itu mengajukan utang ke China senilai US$ 207 juta untuk pengembangan Bandara Internasional Entebbe. Sama seperti Zimbabwe dan Sri Lanka, posisi ekonomi Uganda cukup lemah yang membuatnya terlilit utang dan juga tidak mampu membayar.
Sehingga kepemilikan dari bandara tersebut harus berpindah tangan ke pihak kreditur alias perusahaan yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. “Jadi bisa dilihat dari beberapa negara tadi, sebenarnya memang bukan sepenuhnya salah China, tapi dipengaruhi oleh faktor ekonomi domestik negara tersebut,” ucap Yeta.