Biaya tersebut tak sebanding dengan pembangunan smelter nikel. Dia mencontohkan smelter feronikel berkisar US$ 100-150 juta.
"Jadi selama ini pemerintah selalu menggandengkan keberhasilan nikel. Wah, salah besar. Nikel sangat berbeda jauh dengan bauksit," ungkap Ronald.
Selain investasi nikel lebih murah daripada bauksit, Ronald menilai investor nikel lebih cepat balik modal. Menurut dia, lima tahun sudah balik modal sedangkan investor bauksit butuh waktu 12-15 tahun.
Selain itu, smelter bauksit perlu area tanah yang lebih luas. Dia mencontohkan smelter PT Well Harvest Winning yang seluas sekitar 2.000 hektare.
"Kalau di bauksit, bank pemerintah aja nggak mau membiayai, gimana? Memberi kredit aja nggak berani. Bagaimana bank asing? Lebih parah lagi," ungkap Ronald.
Adapun larangan ekspor bijih bauksit diumumkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dua tahun usai memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.
Jokowi mengklaim, kebijakan tersebut sudah meningkatkan nilai ekspor nikel dari Rp 17 triliun atau setara US$ 1,1 juta pada akhir 2014 menjadi Rp 326 triliun atau setara US$ 20,9 juta pada 2021. Jumlah tersebut meningkat 19 kali lipat.
Hal itu menjadi salah satu dorongan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan serupa terhadap komoditas tambang lain, seperti bauksit. Bauksit yang diolah dan dimurnikan bisa menjadi alumina yang bernilai delapan kali lipat. Sementara alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan bijih bauksit.
AMELIA RAHIMA SARI | RIANI SANUSI PUTRI | ANTARA
Pilihan Editor: Jenis BBM Terbaru yang Akan Diluncurkan Pertamina Juni 2023, Kualitas Terbaik?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini