Fakta keempat adalah efek pengganda yang turun. Dalam kurun waktu 2018 hingga 2022, ketika dunia mengalam krisis karena pandemi, utang pemerintah mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34. "Capaian ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk AS, Cina, dan Malaysia," kata Yustinus Prastowo.
Fakta kelima, Yustinus Prastowo mengatakan sebagian besar utang Indonesia dalam mata uang rupiah. Sebanyak 73 persen berasal dari SBN domestik. "Tentu hal ini baik untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah," ujar dia.
Fakta keenam, menurut Yustinus Prastowo, risiko utang Indonesia menurun tajam. Indikasinya adalah debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan yang terus turun. Mulai dari sebesar 47,3 persen pada 2020 menjadi 34,4 persen pada 2022. Kemudian kembali turun, hingga menjadi 28,4 persen pada April 2023.
Prastowo juga mengatakan interest ratio (IR) atau rasio pembayaran utang terhadap pendapatan juga menurun dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023.
"Penurunan DSR dan IR menunjukkan kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat," kata Yustinus Prastowo.
Fakta ketujuh, kata Yustinus Prastowo, Indonesia memiliki rating yang bagus. Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. "Lembaga-lembaga pemeringkat kredit, seperti Standard & Poor's, Moody's, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade."
Selanjutnya: Fakta kedelapan, utang yang dilakukan pemerintah....