Sementara itu, analis pasar senior di OANDA, Craig Erlam menilai Wall Street awalnya sempat terguncang ketika mendekati tanggal batas waktu. "Gagal bayar AS tampaknya tidak terbayangkan beberapa minggu yang lalu dan meskipun banyak komentar positif dari kedua belah pihak, negosiasi akan berakhir dan itu berarti risiko kehancurannya meningkat," tuturnya.
Di saat yang sama, investor juga mencermati data baru yang dirilis pada Jumat kemarin. Data menunjukkan inflasi naik lebih dari yang diharapkan pada April. Bahkan sejumlah analis memperkirakan Federal Reserve dapat menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan kebijakan moneter berikutnya untuk mengatasi inflasi yang tinggi.
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) AS, misalnya, naik 4,4 persen untuk 12 bulan yang berakhir April, naik dari kenaikan 4,2 persen pada Maret. Data itu dirilis oleh Departemen Perdagangan.
Sementara indeks PCE inti yang diawasi ketat, yang tidak termasuk makanan dan energi, naik tipis menjadi 4,7 persen tahun ke tahun pada April dari tingkat 4,6 persen pada Maret. Adapun pada skala bulanan, indeks PCE dan indeks PCE inti keduanya naik 0,4 persen pada April, menurut Departemen Perdagangan.
Di tempat terpisah, Presiden Federal Reserve Cleveland, Loretta Mester, menyatakan tidak akan mengesampingkan kenaikan suku bunga lagi pada Juni. "Data yang datang pagi ini menunjukkan bahwa kami memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," ucapnya.
Adapun Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) disebut-sebut bakal menaikkan suku bunga dana federal sebesar 25 basis poin lagi pada Juni. Prediksi itu dikeluarkan oleh CME FedWatch Tool pada Jumat sore kemarin.
ANTARA
Pilihan Editor: AS Terancam Gagal Bayar Utang, Gubernur BI Berfokus Perkuat Stabilkan Kurs Rupiah
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini