TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
“Saya tidak bisa menemukan yang lebih soft dari itu. Saya katakan ini adalah cara culas untuk mengakali aturan main pemerintah sendiri,” ujar Bivitri dalam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu, 7 Januari 2022.
Baca: Perpu Cipta Kerja Sebut Pengusaha Wajib Bayar Pesangon Jika Lakukan PHK, Berapa Besarannya?
Bivitri menyatakan cara culas itu tergambar dari bagaimana cara perumusan Perpu yang menjadi pengganti Undang-undang (UU) yang siap mengatur materi yang sama dengan UU.
Hierarkinya, kata dia, di UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di pasal 7 disebutkan Perpu itu tingkatannya sama dengan Undang-undang.
“Jadi betul Perpu bisa menggantikan UU, tapi dia beda dengan UU. Makanya yang satu namanya Undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang,” kata Bivitri.
Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu lalu menjelaskan perbedaan keduanya adalah pada proses pembentukannya.
Menurut Bivitri, Undang-undang di dalam sebuah negara demokratis seperti lazimnya di seluruh dunia, tak hanya membutuhkan kehadiran eksekutif, tapi juga legislatif. “Mulai dari tahap perencanaan sampai ujung sekali ketok palu, mereka akan selalu harus berdua, eksekutif dan legislatif,” ucap dia.
Penyusunan Perpu seharusnya karena situasi darurat
Sedangkan dalam penyusunan Perpu, kata Bivitri, ruang yang diberikan oleh para pembangun konstruksi hukum secara filosofis itu harus berlandaskan pada situasi yang memang kecenderungannya darurat.
Artinya, menurut Bivitri, sebenarnya Perpu tidak boleh digunakan sebagaimana halnya Undang-undang. "Jadi tidak bisa dengan dalih bahwa DPR sedang dalam masa reses, maka dibuatlah Perpu. Enggak bisa seperti itu, berbeda konteksnya.”
Sebab, Perpu adalah sebuah fasilitas yang tidak demokratis walaupun terkadang diperlukan. Seharusnya, pembuatan Perpu pun harus dijauhi dalam kondisi yang normal.
Tapi dalam praktiknya, kata Bivitri, pemerintah bisa mengeluarkan Perpu tanpa adanya pengawasan dari mana pun dan langsung efektif berlaku. Baru kemudian di masa sidang berikutnya DPR membahasnya untuk disetujui atau tidak.
“Jadi pahami dulu itu, Perpu itu seharusnya enggak boleh sembarangan, semata-mata karena DPR-nya sudah tidak bisa bersidang,” tutur Bivitri.
Ditambah lagi, dia melanjutkan, Perpu Cipta Kerja dikeluarkan saat hari kerja terakhir menjelang tutup tahun 2022. Saat itu situasinya masyarakat sedang ingin menikmati malam tahun baru. Selain itu, Perpu dikeluarkan bersamaan dengan pengumuman dihentikannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM.
Selanjutnya: Masyarakat, kata Bivitri, praktis tidak bisa mengakses ...