TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyoroti pertumbuhan industri manufaktur Indonesia. Dia mengatakan, industri ini terus mengalami penurunan sejak 2005, kecuali pada 2011.
"Industri manufaktur pertumbuhannya praktis selalu lebih rendah dari PDB jadi ada semacam gejala dini deindustrialisasi," ujarnya dalam diskusi publik secara virtual yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Kamis, 5 Januari 2023.
Menurutnya, pelemahan pertumbuhan manufaktur Indonesia terus adalah yang paling tajam dibandingkan dengan negara tetangga. Sektor industri manufaktur Indonesia, kata dia, bahkan mengalami perlambatan sebelum mencapai titik optimal nya.
Dia menjelaskan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto atau PDB terus menurun. Tercatat pada 2021, kontribusinya turun dari 29 persen menjadi 18,3 persen pada triwulan ketiga 2022. Faisal Basri pun memprediksi tak lama lagi Vietnam akan menyalip Indonesia meski masih jauh di bawah Cina, Thailand dan Malaysia
Faisal Basri menilai situasi ini berdampak serius karena industri manufaktur adalah pembentuk kelas menengah. "Jadi kalo industrinya lemah, kelas menengahnya juga jadi 'memble'. Lapisan buruh formalnya relatif sedikit," ucapnya.
Dampak lain dari lemahnya struktur industri manufaktur Indonesia, menurut dia adalah ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas. Sementara kegiatan ekspor barang relatif tak membutuhkan tenaga ahli, melainkan hanya tenaga kasar.
"Jadi bisa kita lihat struktur ekspor kita juga jomplang, negara-negara lain lebih mengandalkan otak kita otot," kata Faisal Basri.
Lebih jauh, kata dia, manufaktur Indonesia masih less diversified. Sehingga industri manufaktur Indonesia sangat bergantung pada segelintir sub sektor industri. Seperti industri makanan dan minuman (Mamin) yang berkontribusi 40 persen terhadap industri manufaktur ini. Kemudian industri kimia farmasi yang menyumbang 50% dari total industri manufaktur non migas.
"Jadi itu dia tadi fondasi jadi lemah juga ke ekonomi dari politik yang lemah," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mengklaim Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur meningkat ke level 50,9, pada Desember 2022 dari sebelumnya sebesar 50,3 (November 2022). Sehingga aktivitas manufaktur nasional masih tetap terjaga pada zona ekspansif selama enam belas bulan berturut-turut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengatakan aktivitas manufaktur yang terus berada di zona ekspansif menandakan resiliensi dan pemulihan yang terus berlanjut di tengah perlambatan manufaktur di berbagai negara. Ia pun mengklaim meningkatnya aktivitas sektor manufaktur telah meningkatkan pembukaan lapangan kerja.
“Hal ini merupakan suatu capaian yang perlu kita pertahankan untuk terus menjaga momentum pemulihan,” ujar dia lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu, 4 Januari 2023.
Namun ia tak menampik risiko perlambatan ke depan masih tetap harus diwaspadai. Ia merujuk pada tren PMI Manufaktur Korea Selatan 48,2 (November 49) yang terkontraksi sejak Juli 2022 dan terus melambat sampai akhir tahun terus berlanjut. Beberapa negara kawasan ASEAN+3 juga belum berhasil keluar dari zona kontraksi seperti Jepang 48,8 (November 49), Vietnam 46,4 (November 47,4), dan Malaysia 47,8 (November 47,9).
RIANI SANUSI PUTRI