TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan menaikkan tarif cukai rokok hasil tembakau mendorong kenaikan indeks kemahalan rokok. Ia menjelaskan kebijakan tarif cukai memang didesain untuk menciptakan harga per bungkus yang indeks kemahalannya bisa dipertahankan atau bahkan bisa sedikit meningkat.
"Namun jumlah perokok masih sangat tinggi dan cenderung meningkat," ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI pada Senin, 12 Desember 2022.
Sebelumnya pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif cukai sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Tarif ini akan berbeda sesuai dengan golongan meliputi Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Tujuannya supaya kemampuan membeli rokok menurun sehingga konsumsinya menurun.
Hal itu terbukti dari terjangkaunya harga rokok saat tidak ada kenaikan tarif cukai pada 2019. Selain itu, Sri Mulyani mencatat produksi rokok mengalami penurunan yang tajam ketika pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai. Pada 2020, harga cukai cukup tinggi sehingga terjadi penurunan produksi sampai 9,7 persen.
Sementara ketika tidak ada kenaikan tarif cukai rokok pada 2021, terjadi peningkatan produksi rokok sebanyak 4 persen. Pemerintah pun berharap pada 2022, produksi rokok akan menurun seiring kenaikan tarif cukai yang ditetapkan pemerintah. Adapun produksi rokok tahun ini hingga November tercatat menurun dibandingkan tahun sebelumnya turun 3,3 persen.
Menurut Sri Mulyani, peningkatan tarif cukai semakin mendesak lantaran rokok merupakan komponen pengeluaran terbesar kedua bagi rumah tangga, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan. Pengeluaran dana untuk rokok di rumah tangga miskin bahkan lebih tinggi ketimbang untuk membeli protein.
Ia menilai situasi tersebut membuat pemerintah perlu memengaruhi konsumsi rumah tangga agar lebih memprioritaskan belanja makanan bergizi atau barang-barang yang lebih dibutuhkan. Terutama untuk anak-anak agar bisa tumbuh lebih sehat dan produktif.
Prevalensi perokok dewasa di Indonesia sendiri masih tinggi, yakni sebesar 37,6 persen. Angka tersebut adalah yang tertinggi ke lima di dunia. Sementara prevalensi perokok laki-laki di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu 71,3 persen. Bahkan berdasarkan survei lima tahunan, perokok anak meningkat dari 7,8 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Karena itu, Sri Mulyani berharap adanya cukai sebagai instrumen fiskal dapat mengendalikan konsumsi rokok.
RIANI SANUSI PUTRI