TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil investigasi kecelakaan bus wisata di Tebing Bego, Bantul, Provinsi DI Yogyakarta. Kecelakaan itu terjadi pada Ahad, 6 Februari 2022, menewaskan 14 orang, 4 luka berat, dan 29 luka ringan.
Pelaksana Tugas Kepala Sub Komite Investigasi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) KNKT Wildan menjelaskan kronologi dari kejadian itu. Bermula saat pukul 06.30 WIB bus bernomor polisi AD 1507 EH berangkat dari Bekonang Sukoharjo untuk wisata ke Tebing Breksi, Puncak Pinus Becici dan Pantai Parangtritis.
Baca: Kemenhub: Kecelakaan Bus dan Truk Meningkat Pesat Sejak 2011
“Bus wisata membawa penumpang 45 orang dan 2 awak bus,” ujar dia dalam acara virtual Keselamatan Bus Pariwisata di Indonesia—Studi Kasus Kecelakaan Bus Wisata di Tebing Bego Bantul—pada Rabu, 30 November 2022.
Kemudian, setelah wisata di Tebing Breksi bus wisata melanjutkan perjalanan ke Puncak Pinus Becici lewat Jalan Dlingo-Patuk Gunung Kidul. Sekitar pukul 14.00 WIB bus wisata melanjutkan perjalanan dari Puncak Pinus Becici ke Pantai Parangtritis yang geometrik jalannya dipenuhi dengan turunan dan tikungan.
Pengemudi menggunakan gigi 3 pada saat melalui jalan menurun panjang dan melakukan pengereman panjang berkali-kali. Tujuanya agar kendaraan tidak masuk ke tikungan atau tidak ke arag tebing atau jurang. “Di sana ada gaya sentrifugal, sehingga memaksa pengemudi rem berkali-kali,” kata Wildan.
Saat mendekati Bukit Bego pengemudi merasakan service brake tidak bekerja. Kemudian pengemudi mencoba memindahkan gigi rendah, tapi kesulitan dan pada akhirnya masuk ke posisi gigi netral.
“Posisi gigi netral ini, akan meningkatkan kecepatan kendaraan. Pada saat pengemudi kehilangan kendali, lalu menabrak tebing,” ucap Wildan.
Identifikasi kondisi jalan
Wildan menuturkan Jalan Bukit Bego, Karang Kulon Wukirsari, berada di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Ini adalah jalan provinsi yang merupakan kolektor primer jalan Kelas 3, yang berarti panjang maksimal 9 meter dan lebar maksimal 2,1 meter.
Karakteristik jalan kolektor primer adalah kecepatan paling rendah adalah 40 km per jam untuk desain speed-nya. Kemudian lebar minimal adalah 9 meter dengan akses terbatas, itu kondisi ideal yang sesuai dengan regulasinya.
“Kemudian desain penampang melintangnya adalah idealnya 2 jalur, 2 lajur, 2 arah. Seharusnya idealnya 2 jalur 4 lajur 2 arah. Namun di jalan ini adalah 2 jalur, 2 lajur, 2 arah tanpa media dengan lebar bervariasi antara 6 sampai 7 meter,” tutur Wildan.
Kemudian geometrik jalan turunan itu, Wildan berujar, tercatat sepanjang kurang lebih 1,15 kilometer dengan alignment vertikal rata-rata dalam 13,5 persen negatif. Kemudian pada saat mendekati jalan menurun pada titik lokasi gradiennya mencapai 16 persen negatif.
Terkait alignment horizontalnya diwarnai dengan beberapa tikungan patah dan tikungan ganda. Sehingga dia di jalan tersebut secara tiga elemen geometrik kondisinya substandar. Pertama penampang melintang jalannya, kedua allignment vertikalnya yang sebenarnya untuk jalan berbukit ini maksimal 8 persen.
Selanjutnya: “Kita sudah punya regulasi bahwa..."