“Kita sudah punya regulasi bahwa jika terdapat slop 10 persen ke atas maka panjang landai kritis itu enggak boleh lebih dari 200 meter. Di Bukit Bego ini panjang landai kritisnya mencapai 1 kilometer lebih,” kata dia.
Menurut Wildan, kriterian tersebut sudah cukup menimbulkan energi potensial atau gaya dorong dari atas ke bawah. Ketiga, dia juga melihat banyaknya tikungan dengan radius jari-jari kecil kemudian adanya tikungan ganda.
Wildan juga menggambarkan betapa berbahayanya jalan dengan kondisi karakteristik seperti itu. Jika menemukan jalan penampang melintang jalan yang terbatas banyak tikungan ganda, maka kendaraan akan kesulitan dan bisa terjadi head-to-head dengan kendaraan lainnya pada saat melalui tikungan.
Soal fasilitas jalan dia melihat adanya tikungan ganda searah, tapi sudah menggunakan marka jalan yang memadai. Namun demikian tanda tikungan jalannya ini masih menggunakan patok.
“Jadi kalau malam ini bisa enggak terlihat ini. Sebenarnya kita sarankan menggunakan delineator yang akan memancarkan cahaya pada saat malam hari,” ucap Wildan.
Identifikasi kondisi kendaraan
KNKT, kata Wildan, juga sudah memeriksa kendaraannya. Di kendaraa itu tidak ditemukan isu yang relevan dengan adanya rem blong. Artinya sistem remnya bekerja dengan baik jadi tidak ada kebocoran dan sebagainya.
Namun melihat adanya faktor peningkatan fatalitas, KNKT melihat body kendaraan yang banyak mengalami keropos. Sehingga pada saat terjadi benturan terdeformasi masuk ke survival space. “Dan inilah yang meningkatkan fatalitas dan yang membunuh korban,” ujar dia.
Selain itu, dia juga menemukan bagaimana atap bus jatuh, dan bangku penumpang tidak dilengkapi dengan sabuk keselamatan. KNKT pun menemukan kacanya tidak terbuat dari safety glass, yang menjadi berbahaya.
Karena, Wildan mencontohkan, seperti kasus kecelakaan di Labuhanbatu Selatan ketika PO Makmur berserempetan dengan bus Permesta itu memakan korban 8 orang yang duduk di sebelah kanan. “Hanya serempaten bukan head to head itu yang meninggal 8 orang,” kata dia.
Dalam kecelakaan tersebut, kata Wildan, ada penumpang yang duduk di bangku 2, tapi kepalanya di bangku 7. Penyebabnya kaca tersebut berubah jadi pisau, sehingga 8 orang meninggal itu ada yang dadanya terbelah dan sebagainya.
“Hati-hati dengan kaca yang tidak menggunakan safety glass pada saat terjadi benturan seperti ini akan menjadi mesin pembunuh. Ini menjadi temuan kami terkait dengan safety kendaraan ini,” tutur Wildan.
Baca juga: KNKT Rilis Hasil Investigasi Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 , Ada 6 Penyebab
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.