TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan bahwa kemungkinan penyelenggaraan G20 kali ini tak akan menghasilkan leaders communique atau komunike. Menurut Bhima, komunike selalu tercapai dalam setiap penyelenggaraan G20.
"Jadi kalau tidak terjadi komunike, ini merupakan salah satu G20 paling gelap sepanjang sejarah penyelenggaraan G20," ujar Bhima saat dihubungi Tempo pada Ahad, 13 November 2022.
Ia menilai jika Presidensi G20 kali ini tak mencapai komunike, maka bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan. Sebab komunike adalah hal yang sangat penting. Meskipun G20 ini bersifat non-binding atau tidak mengikat, menurut Bhima, setidaknya akan ada arahan yang jelas dan gambaran bagaimana pemimpin dunia memandang isu-isu strategis ke depan.
Komunike itu, kata dia, akan memperlihatkan seperti apa dan bagaimana kerangka kebijakan multilateral di tengah berbagai tantangan global saat ini. Misalnya soal resesi atau krisis yang tidak bisa dihadapi oleh satu negara melainkan harus bekerja sama dengan negara-negara lainnya.
Pada penyelenggaraan G20 tahun sebelumnya di Roma, Italia pun, komunike tetap tercapai di tengah tensi perang dagang yang meningkat. Terlebih, saat itu tengah terjadi lonjakan kasus Covid-19 di Roma pada 2021. Bhima mengatakan saat itu G20 tetap menghasilkan leaders declaration yang memuat 61 poin pernyataan.
"Kalau tidak ada komunike di Bali artinya anggaran yang selama ini digunakan itu bisa dibilang sebagian terbuang percuma digunakan untuk penyelenggaraan presidensi G20," ucap Bhima.
Selain itu, tercapainya komunike semakin penting karena ada isu yang sentral seperti perang Rusia-Ukraina. Meski telah dipastikan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak hadir secara fisik di Bali nanti. Bhima berharap kehadiran menteri luar negeri Rusia yang mewakili Putin dapat membuat komunike tetap tercapai, khususnya soal pengakhiran perang di Ukraina.
Meski kemungkinan besar perdebatan ihwal isu tersebut berlangsung alot, menurut Bhima, Indonesia harus bisa mendorong tercapainya suatu kesepakatan. Sehingga sebagai juru damai yang tidak punya kepentingan dengan perang di Ukraina, Indonesia seharusnya tetap bisa mendorong adanya komunike. Sehingga, optimisme terhadap komunike itu yang menjadi catatan positif bagi penyelenggaraan presidensi G20 tahun ini.
"Sekali lagi tanpa komunike, bisa dikatakan G20 tidak mencapai kesepakatan apapun," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tak bisa memastikan soal komunike sebagai hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Pasalnya, penyelenggaraan G20 kali ini berlangsung di tengah situasi geopolitik yang sangat kompleks.
"Belum pernah ada G20 dengan situasi dunia sekompleks sekarang. Kalau nanti tidak menghasilkan leaders communique, ya sudah tidak apa-apa," kata Luhut di ITDC Nusa Dua, Bali, Sabtu, 12 November 2022.
Menurutnya, hal yang wajar apabila persamuhan para kepala negara anggota G20 itu tak menghasilkan komunike. Misalnya, eskalasi perang Rusia-Ukraina, krisis global setelah pandemi Covid-19, hingga ancaman krisis karena perubahan iklim.
Tetapi Luhut tetap memastikan ada banyak efek limpasan yang akan dihasilkan dari pertemuan tingkat tinggi itu. Menurutnya, dampak KTT G20 akan mengalir ke 361 titik yang nilainya jutaan dolar. Efek berentet yang ia maksud adalah kebijakan bersama untuk sektor kesehatan hingga dialog mengenai dekarbonisasi.
Luhut lebih melihat agenda internasional tersebut sebagai agenda untuk membangkitkan ekonomi Pulau Dewata. Apalagi dalam dua tahun ke belakang, ekonomi Bali ambruk karena pandemi Covid-19. "Sekarang kita berharap, ini akan mengobati luka yang dalam di Bali selama 2 tahun lalu," kata dia.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini