TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyarankan pemerintah menunda proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN. Dia menilai saat ini yang urgensi bukanlah pindah ibu kota baru, sementera dunia dihadapkan dengan ketidakpastian atau ancaman resesi global 2023.
Faisal mengatakan tidak ada pemerintahan yang ingin membangun ibu kita baru du tengah kondisi sekarang ini. “Kita menghadapi ancaman yang paling besar sekarang ada muncul istilah Five C atau 5C yaitu Covid-19, Conflict Rusia-Ukraina, Climate Change, Commodity Prices, dan Cost of Living,” ujar dia saat ditemuai di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Kamis, 20 Oktober 2022.
Dia menilai bahwa lokasi IKN baru ini tidak ideal jika dilihat dari berbagai perspektif, salah satu contohnya lokasi di Penajam Pasert Utara, Kalimantan Timur, kebanyakan lapisan tanahnya lumpur. Selain itu, banyak sumur gas kecil yang mudah terbakar. Dia mencontohkan Bukit Suharto perna kebakaran gara-gara batu bara yang panas.
Baca: PUPR Bangun 22 Tower Rusun Pekerja IKN, Basuki: Bisa untuk Kantor Bersama
Kemudian lokasi cadangan air yang jauh, karena daerahnya minim air. Meskipun bisa diatasi dengan teknologi saat ini, tapi Faisal menilai mitigasinya akan lebih mahal. “Itu risikonya. Mending ditunda setidaknya, idealnya kasih napas presiden baru nanti dong, 2025 deh mulai kita siapkan dengan lebih baik,” tutur dia.
Faisal tidak ingin permasalahan struktur tanah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) terjadi kembali di proyek infrastruktur yang lain . Menurut dia, ada lintasan KCJB di wilayah dekat Bandung itu dibelokan karena kontur tanahnya sulit. “Padahal sebelumnya, ahli geologi sudah mengatakan bahwa tanah di lokasi tersebut tidak ideal.”
Selain itu jika bicara dampak ekonomi di IKN, Faisal menambahkan, seharusnya pemerintah memiliki hitungan tersendiri. Dia mempertanyakan dampaknya bagi 34 provinsi lainnya dari pembangunan ibu kota baru sekarang. Faisal menilai dampaknya hanya nol koma sekian, tidak signifikan untuk memeratakan pembangunan.
Selanjutnya: Dominasi Pusat Dinilai Jadi Sumber Disparitas Pembangunan